TAUHID ILMU KALAM (ALIRAN ASY’ARIYAH)


ALIRAN ASY’ARIYAH
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tauhid Ilmu Kalam
Dosen pembimbing : DRA. Hj. Halimah Sa’diyah. MA


Kelompok 7
Annisa Aulia Berliana
Figri Nur Ilman
Puspita Sari

PAI 1B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2018




  • Latar Belakang
    Nama lengkap Al-Asy'ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma'il bin Ishaq bin Salim bin Isma'il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari. Menurut beberapa riwayat Al-Asy'ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.
    Menurut ibnu Asakir, Ayah Al-Asy'ari adalah seorang yang berfaham Ahlusunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy'ari masih kecil. Ibu Al-Asy'ar, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba'i. Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy'ari kemudian menjadi tokoh Mu'tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba'i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu'tazilah[1]
    Ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari[2] kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu'tazilah
    Yang menjadi pertanyaan mengapa Al-Asy’ari meninggalkaan aliran Mu’tazilah? Ada bermacam-macam dugaan, menurut. Harun Nasution, sulit menentukan sebab mana yang membuat Al-Asy’ari berpaling dari Mu’tazilah.[3]
    Sebab biasa yang dikemukakan adalah karena mimpi. Menurut ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah adalah pengakuan Al-Asy'ari telah bermimpi bertemu dengan Rasululloh SAW. Sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya itu, Rasululloh memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu'tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

    Menurut As-Subhi, karena Al-Jubba’i tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan Al-Asy’ari seperti sebagai berikut[4] :
    Al-Asy’ari     : Bagaimana pendapat tuan tentang kedudukan orang mukmin, kafir dan anak                                          kecil di akhirat?
    Al-Jubba’i     : Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang kafir masuk neraka                             dan anak kecil tergolong orang yang selamat (terlepas dari neraka)”
    Al-Asy’ari    :  Andaikata anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan yang tertinggi, mungkinkah     itu?
    Al-Jubba’i    : Tidak dapat, karena akan dikatakan kepadanya: “Orang mukmin tersebut himendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan hiengkau tidak”
    Al-Asy’ari  : Anak kecil akan menjawab: “Itu bukan salah saya, jika sekiranya Tuhan himenghidupkan aku sampai besar, tentu aku akan mengerjakan segala hiketaatan           seperti orang mukmin tersebut”
    Al-Jubba’i     : Tuhan akan berkata: “Aku lebih tahu tentang engkau. Jika engkau hidup hisampai besar, tentu akan mendurhakai aku dan aku akan menyiksa engkau”. hiJadi aku mengambil yang lebih baik bagimu dan aku matikan engkau hisebelum dewasa”
    Al-Asy’ari     : Jika orang kafir tersebut berkata: “Ya Tuhan Engkau mengetahui keadaanku hidan keadaan anak kecil tersebut. Mengapa terhadap aku Engkau tidak himengambil tindakan yang lebih baik bagiku?”
    Kemudian diamlah Al-Jubba’i dan tidak dapat menjawab lagi[5]


    Al-Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah juga karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut seperti dalam dialog diatas, juga dikhawatirkan Alquran dan Hadis menjadi korban dari faham-faham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin menyimpang dan menyesatkan masyarakat. Karena aliran Mu’tazilah terlalu mengedepankan pemujaan kekuatan akal pikiran[6].

    1. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah
    Suatu unsur kemajuan aliran Asy’ariah karena mempunyai tokoh-tokoh kenamaaan. Sebagai berikut:[7]
    1.      Al-Baqillani (wafat 403 H)
    2.      Ibnu Faurak (wafat 406 H)
    3.      Ibnu Ishak Al-Isfaraini (wafat 418 H)
    4.      Abdul Kahir Al-Bagdadi (wafat 429 H)
    5.      Imam  Al-Haramain Al-Juwaini (wafat 478 H)
    6.      Abdul Mudzaffar Al-Isfaraini (wafat 478 H)
    7.      Al-Ghazali (wafat 506 H)
    8.      Ibnu Tumari (wafat 524 H)
    9.      As-Syihristani (wafat 548 H)
    10.  As-Sanusi (wafat 895 H)

    1. Doktrin-doktrin Aliran Asy’ariyah
    1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
    Pendapat Asy’ariyah dalam soal ini terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dengan aliran Hasyiwiyah dan Mujassimah. Menurut aliran Mu’tazilah bahwa ia menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Sedangkan menurut aliran Hasyiwiyah dan Mujassimah berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu sama dengan sifat-sifat makhluk.[8]
    Menghadapi dua pendapat tersebut, Asy’ariyah mengakui bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat. Tetapi sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat makhluk[9]

    2.      Kebebasan dalam berkehendak
    Pendapat Asy’ariyah dalam soal ini juga di tengah-tengah antara aliran Jabariyah dengan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah bahwa manusia itu mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. Sedangkan menurut aliran Jabariyah bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu.
    Menghadapi dua pendapat tersebut, Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.[10]

    3.      Melihat Allah (Ru’yatulloh) pada hari kiamat
    Pendapat Asy’ariyah dalam soal ini juga di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dengan aliran Jabariyah. Menurut aliran Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, andaikata Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun Dia dapat dilihat oleh mata kepala. Sedangkan menurut aliran Jabariyah bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan
    Menghadapi dua pendapat tersebut, Asy’ariyah berpendapat bahwa setiap yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh karena itu tuhan ada, maka Ia dapat dilihat. tuhan dapat dilihat nanti ketika hari kiamat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan Ru’yatulloh dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat

    4.      Kedudukan orang berdosa
    Pendapat Asy’ariyah dalam soal ini juga di tengah-tengah antara aliran Khawarij dengan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Khawarij bahwa pelaku dosa besar ialah kafir dan akan disiksa di neraka.[11] Sedangkan menurut aliran Mu’tazilah bahwa  pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan juga kafir, tetapi fasik (Al-Manzilah  bain Al-Manzilatain)
    Menghadapi dua pendapat tersebut, Asy’ariyah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar maka bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak

    5.      Al-Qur’an itu Kalamulloh dan bukan makhluk
    Pandangan Asy’ariyah sama dengan pandangan Maturidiah bahwa Al-Qur’an itu adalah Kalamulloh dan bukan makhluk. Berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang  berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
    Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu kekal, yang namanya makhluk bisa musnah, tetapi Kalamulloh tidak mungkin musnah. Maka berarti Kalamulloh bukan makhluk.[12]

    6.      Keadilan Tuhan
    Pada dasarnya Asy’ariyah dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Asy’ariyah tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengartikan keadilan dari sisi manusia. Menurut Mu’tazilah bahwa Allah diharuskan berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurut Asy’ariyah bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. [13]
    Asy’ariyah berpendapat bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Misalnya seseorang yang mempunyai kekuasaan mutlak atas harta benda yang dimilikinya. Sehingga ia bebas melakukan apa saja terhadap harta bendanya. Asy’ariyah menganalogikan bahwa Allah adalah pemilik mutlak. Sehingga dapat berbuat sesuai kehendak-Nya atas milik-Nya. Karenanya, tidak bisa dikatakan salah, seandainya Allah memasukkan orang kafir ke dalam surga atau sebaliknya[14]

    Jadi aliran Asy’ariyah adalah sebuah paham yang dinisbahkan kepada Abu Hasan Al-Asy’ari yang dulunya ialah pengikut aliran Mu’tazilah, tetapi pada perkembangan selanjutnya ia menolak paham-paham Mu’tazilah. Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dengan golongan tekstualis dan ternyata jalan yang diambil Al’Asy’ari tersebut diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
    Aliran Asy’ariyah tergolong unik, mengeksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naqli dengan kuat tetapi tidak seketat aliran Salafiyyah dalam penolakan mereka terhadap argumen logika




    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Hasan Al-Asy’ari. 1986. Ajaran-Ajaran Asy’ari. Terjemahan oleh Afif Mohammad. Bandung: Pustaka Bandung.
    Anwar, Rosihon dan Abdul Razak. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
    Hanafi, 1995. Theology Islam. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta.
    Nurdin, Amin. 1996. Sejarah Pemikiran Dalam Islam. Jakarta: PT Pustaka Antara Bekerja Sama Dengan LSIK



    [1] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) Hlm. 120
    [2] Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta, 1995) Hlm. 104
    [3] Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, (Jakarta: PT Pustaka Antara bekerja sama dengan LSIK, 1996) Hlm. 90
    [4] Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, (Jakarta: PT Pustaka Antara bekerja sama dengan LSIK, 1996) Hlm. 90
    [5]  Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta, 1995) Hlm. 105
    [6] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) Hlm. 121
    [7] Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta, 1995) Hlm. 110
    [8] Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta, 1995) Hlm. 108
    [9] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) Hlm. 121
    [10] Abu Hasan Al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy’ari, Terj. Afif Mohammad. (Bandung: Pustaka Bandung, 1986) Hlm. 78
    [11] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) Hlm. 137
    [12] Abu Hasan Al-Asy’ari, Ajaran-Ajaran Asy’ari, Terj. Afif Mohammad. (Bandung: Pustaka Bandung, 1986) Hlm. 40
    [13] Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra Jakarta, 1995) Hlm. 123
    [14] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) Hlm. 124








    Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    FIQIH MUNAKAHAT (Rujuk Dan Tajdidunnikah)

    TAFSIR (Metode Tafsir Bi Al-Matsur dan Bi Al-Ra’yi)