FIQIH MUNAKAHAT (Rujuk Dan Tajdidunnikah)


Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu : Drs. H. Ghufron Ihsan MA


Kelompok 8
Annisa Aulia Berliana 
Asna Maziyah Ilahiyah
Nurul Aida
Silvi Humaira      
             PAI 3B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2019/2020





Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpah nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Ulumul Hadis dengan judul “Rujuk dan Tajdidunnikah” .
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya .
      
                                                                                                 Jakarta, 18 November 2019

















Manusia diciptakan dengan jenis yang berbeda, yaitu lelaki dan perempuan, dimana keduanya ini diberi naluri untuk saling tertarik dan mencintai. Allah SWT mengutus manusia ciptaanNya untuk melaksanakan pernikahan agar tercapai tujuan serta hikmah yang terpuji.
Perpecahan yang terjadi dalam pernikahan bisa saja disebabkan dari pihak luar atau pihak dalam yaitu suami istri itu sendiri.Menurut Ali Ahmad Utsman, dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Pernikahan dalam Islam
Tali pernikahan merupakan masalah fitriyah antara suami dan istri, sedangkan perceraian merupakan masalah insidental yang harus diselesaikan secara adil dan benar sehingga kehidupan suami istri dapat terjalin harmonis kembali seperti sedia kala
Beberapa pasang suami istri yang melakukan perceraian karena beberapa faktor yang sulit untuk diperbaiki.Namun di antara beberapa pasang suami istri tersebut, terdapat pula pasangan yang kemudian melakukan rujuk ataupun Tajdid al-Nikah.

1.      Apa definisi dari rujuk?
2.      Bagaimana penjelasan hukum rujuk?
3.      Apa saja rukun dan syarat rujuk?
4.      Apa definisi dari tajdid nikah?
5.      Bagaimana penjelasan hukum tajdid nikah?
1.      Untuk mengetahui definisi dari rujuk
2.      Untuk memahami penjelasan hukum rujuk
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat rujuk
4.      Untuk mengetahui definisi tajdid nikah
5.      Untuk mengkaji penjelasan hukum tajdid nikah





Menurut bahasa kata ruju’ yang berarti kembali dan mengembalikan. Dalam  istilah hukum islam, para fuqahah mengenalkan istilah ruju’ dan istilah raj’ah yang keduanya memiliki makna yang sama.
Ulama hanafiyah memberi definisi rujuk sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut yang artinya: “Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i).”[1]
Menurut Al-Syafi’i memberi definisi rujuk sebagai berikut yang artinya: “Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah masa iddah setelah terjadinya talak (raj’i).)
Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.
Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana laki-laki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, walaupun bekas suami dalam masa iddah berhak merujuk bekas istrinya dan mengembalikannya sebagaimana semula suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh bekas suami.
Dengan terjadinya talak raj’i, maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakaan tempat tinggal serta jaminan nafkah dan sebagai imbangannya, bekas suami memiliki hak prioritas untuk merujuk bekas istrinya itu dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh. Dengan pernyataan rujuk itu bekas suami halal mencampuri bekas istrinya lagi, sebab dengan demikian status perkawinan mereka kembali seperti sedia kala.[2]
Oleh karena itu, laki-laki selain bekas suami tidak berhak mengawini bekas istri itu sebelumnya berakhir masa iddahnya. Hak prioritas merujuk itu menjadi hilang dengan berakhirnya masa iddah yang dimaksud. Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan firman Allah sebagai berikut yang artinya: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) mengehendaki ishlah (perbaikan).” (Q.S Al-Baqarah: 228)
Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan tidak baik, misalnya menggunakan hak rujuknya untuk menyengsarakan istrinya, atau untuk mempermainkannya. Sebab, dengan demikian, bekas suami berbuat aniaya atau berbuat dzalim, sedangkan berbuat dzalim itu diharamkan.[3]
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah yang artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf (baik) atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula), janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka barangsiapa bebruat demikian, maka sunguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Q.S Al-Baqarah: 231)
Apabila suami menjatuhkan talaknya di waktu istri sedang haid, maka suami wajib merujuk istrinya kembali, karena talak diwaktu haid ini tidak sesuai dengan tuntunan atau yang disebut dengan talak bid’i. Ketentuan ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Umar r.a bertanya kepada Rasululloh. Maka Rasululloh SAW bersabda kepada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar merujuk istrinya, dengan sabda beliau sebagai berikut yang artinya: “Perintahlah ia (anakmu, hendaknya ia merujuk istrinya), lalu ia memeliharanya sehingga suci dari haid, kemudian haid, kemudian suci lagi, kemudian jika ia mau hendaklah ia pelihara sesudah itu atau jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya. Demikian itulah waktu yang diiizinkan Allah bagi suami untuk mentalak istrinya” (Mutafaq ‘Alaih)
Dengan demikian, status hukum suami merujuk istrinya itu bergantung kepada motif dan tujuannya serta sesuai atau tidaknya cara menjatuhkan talak itu dengan tuntunan sunnah sehingga dengan demikian hukum suami merujuk bekas istrinya ini boleh jadi wajib, boleh jadi sunnah, boleh jadi mubah, boleh jadi makruh dan boleh jadi haram.[4]

Hukum rujuk dapat berbeda, mengingat perbedaan kondisi yang akan melakukannya seperti sebagai berikut:[5]
·         Jaiz (boleh), ini adalah hukum asal rujuk
·         Sunnah, jika suami bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya atau karena rujuk dirasa lebih bermanfaat bagi keduanya
·         Wajib, terhadap suami yang menthalak salah seorang istrinya. Sebelum dia sempurnakan waktunya terhadap istri yang dithalak
·         Makruh, jika kelangsungan perceraian dianggap lebih baik dan berfaedah bagi keduanya
·         Haram, apabila dengan rujuk itu suami bermaksud menyakiti istrinya


      Ibnu Rusyd membagi hukum rujuk menjadi sebagai berikut:[6]
·         Hukum rujuk pada Talak Raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i selama istri masih berada dalam masa iddah. Hal ini berdasarkan firman Allah yang artinya “Dan suami-suami mereka lebih berhak merujuk mereka (istri-istri) dalam masa menanti (iddah) itu”
(Q.S Al-Baqarah: 228)
Mengenai saksi, Imam Malik berpendapat bahwa adanya saksi dalam merujuk disunnahkan, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat hal itu wajib. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan dzahir nash yaitu firman Allah yang artinya “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” (Q.S At-Thalaq: 2)
Ayat ini menghendaki wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengqiyasan hak tersebut (yakni rujuk) dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang tidak menghendaki adanya saksi. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd’ penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut kepada nadb (sunnah)
Selanjutnya, fuqaha berselisih pendapat mengenai batas-batas yang boleh dilihat oleh suami dari istrinya yang dijatuhi talak raj’i selama ia berada dalam masa iddah
Imam Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri tersebut, tidak boleh masuk ke kamarnya kecuali dengan persetujuannya dan tidak boleh melihat rambutnya. Tetapi tidak mengapa makan bersama dia, apabila ada orang lain bersama keduanya. Ibn Al-Qasim meriwayatkan bahwa Imam Malik mencabut kembali pendapatnya tentang kebolehan makan bersama istri.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya tidak mengapa istri tersebut berhias diri untuk suaminya, memakai wangi-wangian serta menampakkan jari-jemari dan celak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh At-Tsaury, Abu Yusuf dan Al-Auza’i. Mereka semua berpendapat bahwa suami tidak boleh masuk ke kamar istri, kecuali jika istri tersebut mengetahui masuknya suami dengan kata-kata atau gerak, seperti mendehem atau suara sandal.

·         Hukum rujuk pada Talak Ba’in
Talak ba’in terkadang terjadi dengan bilangan talak yang kurang dari tiga dan ini terjadi pada istri yang belum digauli tanpa diperselisihkan lagi dan pada istri yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya. Dan masih diperselisihkan pula, apakah khulu’ dapat terjadi tanpa harta pengganti. [7]
Hukum rujuk setelah talak ba’in sama dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Hukum rujuk pada Talak Ba’in dapat diperinci menjadi sebagai berikut:
a.      Talak Ba’in karena talak tiga kali
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli oleh (suami yang lain) berdasarkan hadis Rifa’ah bin Sama’ual yang artinya “Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, Tamimah binti Wahab pada masa Rasululloh tiga kali, maka Tamimah kawin dengan Abdurrahman bin Zubair. Kemudian Abdurrahman berpaling daripadanya tanpa dapat menggaulinya, lalu ia pun menceraikannya. Maka Rifa’ah (suaminya yang pertama) bermaksud hendak mengawininya dan berkata: Tamimah tidak halal bagimu sehingga ia merasakan madu (berjima’ dengan suami lain)” [8]

b.      Nikah Muhallil
Dalam kaitan ini fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang lelaki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama
Imam Malik berpendapat bahwa nikah tersebut rusak dan harus difasakh, baik sesudah maupun sebelum terjadi pergaulan. Demikian pula syarat tersebut rusak dan tidak berakibat halalnya perempuan tersebut.[9]
Imam Malik dan pengikutnya beralasan dengan hadis yang diriwayatkan dari Rasululloh dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud ra, Abu Hurairah ra dan Uqbah bin Amir ra sebagai berikut yang artinya: “Sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda: Allah melaknat perkawinan orang yang menghalalkan (al-muhallil) dan orang yang dihalalkan untuknya (al-muhallal lah)”

1)      Istri dengan syarat:
Sudah digauli oleh suaminya, jika belu digauli kemudian ditalak, maka jatuh talak ba’in sugra artinya istri tidak boleh dirujuk oleh mantan suami
2)      Suami dengan syarat:
·         Baligh
·         Sehat akalnya
·         Atas kemauan sendiri
3)      Sighat
Sighat ini bisa dengan terang-terangan dan bisa pula dengan kiasan,  dengan terang-terangan misalnya: “saya ingin rujuk denganmu”. Dengan kata-kata sindiran misalnya: “saya bersatu kembali denganmu”. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus dibarengi niat merujuk, sebab jika tidak maka rujuknya tidak sah
4)      Saksi
Seperti yang tercantum dalam firman Allah yang artinya: “Maka bila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”  (Q.S At-Thalaq: 2)

Secara Etimologi kata  Tajdid artinya   pembaharuan. Yang dimaksud pembaharuan disini adalah memperbaharui nikah. Dalam kata tajdid mengandung arti yaitu membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya sebagaimana yang diharapkan.[10]
Konsep Tajdid ini sering kali dipakai oleh masyarakat dalam hal  memperbaharui nikah, atau membangun nikah.  Dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah “Nganyari Nikah”. 
Kata perkawinan itu berasal dari bahasa Arab yaitu nikah, yang berarti pengumpulan atau bergabungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menurut istilah nikah adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan sebab sahnya status sebagai suami istri, dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawaddah, penuh kasih dan sayang, kebajikan serta saling menyantuni. [11]
Menurut Ibrahim al-Bajuri yang merupakan salah satu pakar dalam fikih beliau juga memberikan pengertian tentang nikah adalah akad yang mengandung sebagian rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Mahmud Yunus, perkawinan adalah akad antara calon suami dan istri untuk memenuhi hajat hidupnya yang diatur oleh syara’.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian tajdid dan nikah yang telah disebutkan maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa tajdidun nikah adalah pembaharuan terhadap akad nikah. Arti secara luas yaitu pembaharuan, perbaikan terhadap suatu akad yang nantinya akan menghalalkan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan perempuan yang akhirnya akan mewujudkan tujuan dari pernikahan yaitu adanya keluarga yang hidup dengan penuh kasih sayang dan saling tolong menolong, serta sejahtera dan bahagia.

Tajdid Nikah atau memperbaharui Nikah dan yang lebih dikenal dengan istilah Mbangun Nikah serta dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah Nganyari Nikah,  sama sekali tidak diketemukan dasar hukumnya, baik dari Al-qur’an. maupun Sunnah Nabi.[12]
Dikalangan para Ulama hal tersebut menjadi perbedaan pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang atau memberikan batasan-batasan tertentu, agar pernikahan yang memiliki nilai sakral tersebut tidak menjadi barang mainan
  1. Boleh Menurut Pendapat Shahih
Memperbarui nikah jika dimaksudkan sekadar tajammul (keindahan atau pura-pura), seperti orang yang dinikahkan sah menurut agama Islam, lengkap dengan syarat dan rukunnya, namun tidak didaftarkan di KUA, setelah didaftarkan di KUA dinikahkan lagi sebagai persyaratan yang harus disaksikan oleh petugas KUA, maka dalam hal ini menurut Syaikh Ibnu Hajar dan jumhur ulama Syafi’iyah tidak membatalkan nikah yang pertama, asalkan pengantin laki-laki tetap meyakini bahwa nikah yang pertama tidak rusak.
Pendapat ini adalah yang shahih (kuat/benar), yakni hukumnya boleh. Karena di dalam memperbarui nikah terdapat unsur tajammul (memperindah) dan ihtiyath (kehati-hatian dari sepasang suami-istri). Sebab bisa saja terjadi sesuatu yang bisa merusak nikah tanpa mereka sadari, sehingga memperbarui nikah guna menetralisir kemungkinan tersebut.
Menurut  Syaikh Isma’il Al-Yamani Al-Makki berpendapat bahwa :
ان مسئلة تجديد النكاح الذي هو عبارة عن تكرير عقد لتجمل او احتياط ليست من المسائل الحادثة في هذه الازمنة الآخرة على معنى لايكون لها ذكر في كلام فقهائها المتقدمين بل هي مذكورة في المنهاج للامام النواوي رحمه الله تعالى وهو من اهل القرن السادس واظنه مسبوقا في ذالك غير انه لم يشتهر العمل بمقتضاها الا لاهل ناحيتنا وهم اهل انصاف للحق واحتياط
Artinya : “Sesungguhnya masalah Tajdid Nikah yang berarti berulang-ulangnya akad Nikah untuk memperindah dan hati-hati, bukan masalah baru yang muncul belakangan ini, dalam arti tidak pernah di singgung dalam kajian Fiqih Klasik, bahkan sesungguhnya telah disebutkan dalam kitab Minhaj, karya Imam Nawawi yang hidup pada abad ke Enam, dan saya kira sebelumnya (sudah ada penyebutan Tajdid Nikah) hanya saja tidak populer di praktikkan kecuali beberapa daerah tertentu yang penduduknya adalah orang- orang yang berpegangan kepada kebenaran dan berhati-hati
Dalam kesempatan lain ketika beliau di tanya tentang Tajdid Nikah beliau menjawab :
اذا قصد به التأكيد فلابأس به لكن الاولى تركه
Artinya:  “Apabila Tajdid Nikah itu untuk mengokohkan ‘akad yang pertama maka tidak apa-apa, akan tetapi sebaiknya tidak usah di praktikkan
Inilah yang menjadi salah satu alasan bagi mereka yang membolehkan Tajdid Nikah,  yakni  dengan niatan  semata-mata untuk memperindah atau agar mereka  lebih berhati-hati  dalam menjaga pernikahan atau perkawinannya.[13]
  1. Tidak Boleh Menurut Pendapat Lemah
Memperbarui nikah jika dimaksudkan untuk membatalkan yang pertama karena menganggap hari pernikahan pertama kurang baik atau menganggap setelah sekian lama menikah karena khawatir pernah mengucapkan thalaq. Maka menurut sebagaian ulama Syafi’iyah nikah yang pertama dianggap batal.[14]
Pendapat kedua ini adalah pendapat yang lemah, yang berarti tidak memperkenankan tajdidunnikah . Dengan alasan karena dapat merusak akad nikah yang pertama.
Dalam kitab  Al-Anwar, Juz II, disebutkan  bahwa :
وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِضُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ.
Artinya: "Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhalli".
ﻟﻮ ﺟﺪﺩ ﺭﺟﻞ ﻧﻜﺎﺡ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻟﺰﻣﻪ ﻣﻬﺮ ﺃﺧﺮ ﻷﻧﻪ ﺇﻗﺮﺍﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﻭﻳﻨﺘﻘﺺ ﺑﻪ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻲ ﺍﻟﺘﺤﻠﻴﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺮﺓ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ .
“Seandainya seseorang memperbarui nikah dengan istrinya maka wajib baginya membayar mahar lagi, karena hal tersebut merupakan penetapan di dalam perceraian (furqah).” ( Al-Anwar li A’mal al-Abrar juz 7 halaman 88).
Oleh karena itu sebuah pernikahan adalah sebuah ikrar sakral yang sekali terjadi untuk selama-lamanya dan tidak boleh dibuat main-main dengan  sering menyebut kata-kata  talaq kepada istrinya. Karena jika sampai menyebut kata talaq kepada istrinya hingga tiga kali maka akan jatuh talaq bain, yang artinya tidak boleh rujuk lagi kecuali ada muhalli (istri nikah dulu dengan orang lain). Ini yang dipahami oleh para ulama-ulama madzhab. Jadi jika tiap tahun membangun nikah karena ada kekhawatiran pernah ada ucapan talaq sehingga khawatir aqadnya rusak, maka ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan syara’ yang dipahami para ulama tersebut. Karena hakekatnya ketika sudah bangun nikah pada ketiga kalinya, istrinya sudah tidak sah lagi untuk dinikahinya pada bangun nikah berikutnya.




  


Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu.
Hukum rujuk dapat berbeda, mengingat perbedaan kondisi yang akan melakukannya seperti sebagai berikut:
·         Jaiz (boleh), ini adalah hukum asal rujuk
·         Sunnah, jika suami bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya atau karena rujuk dirasa lebih bermanfaat bagi keduanya
·         Wajib, terhadap suami yang menthalak salah seorang istrinya. Sebelum dia sempurnakan waktunya terhadap istri yang dithalak
·         Makruh, jika kelangsungan perceraian dianggap lebih baik dan berfaedah bagi keduanya
·         Haram, apabila dengan rujuk itu suami bermaksud menyakiti istrinya
Rukun dan Syarat Rujuk
1.      Istri dengan syarat:
Sudah digauli oleh suaminya, jika belu digauli kemudian ditalak, maka   jatuh talak ba’in sugra artinya istri tidak boleh dirujuk oleh mantan suami
2.      Suami dengan syarat:
·         Baligh
·         Sehat akalnya
·         Atas kemauan sendiri
3.      Sighat
Sighat ini bisa dengan terang-terangan dan bisa pula dengan kiasan,  dengan terang-terangan misalnya: “saya ingin rujuk denganmu”. Dengan kata-kata sindiran misalnya: “saya bersatu kembali denganmu”. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus dibarengi niat merujuk, sebab jika tidak maka rujuknya tidak sah
4.      Saksi
Seperti yang tercantum dalam firman Allah yang artinya: “Maka bila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (Q.S At-Thalaq: 2)
Tajdidun nikah adalah pembaharuan terhadap akad nikah. Arti secara luas yaitu pembaharuan, perbaikan terhadap suatu akad yang nantinya akan menghalalkan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan perempuan yang akhirnya akan mewujudkan tujuan dari pernikahan yaitu adanya keluarga yang hidup dengan penuh kasih sayang dan saling tolong menolong, serta sejahtera dan bahagia.
Dikalangan para Ulama hal tersebut menjadi perbedaan pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang atau memberikan batasan-batasan tertentu, agar pernikahan yang memiliki nilai sakral tersebut tidak menjadi barang mainan

Meskipun kami  menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, tetapi kenyataannnya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.





Rahman, Abdul. 2012. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kharisma Putra Utama
Slamet, Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II. Bandung: CV Pustaka Setia
Bakry, Hasbullah. 1990. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia
Sudarsono. 2001. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Hadi, Abdul. 1989. Fiqih Munakahat. Semarang: Duta Grafika























[1] Rahman, Abdul. Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012) Hlm 105
[2] Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat II. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Hlm 98
[3] Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990) Hlm 103
[4] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm 123
[5] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hlm 13
[6] Rahman, Abdul. Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012) Hlm 106
[7] Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat II. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Hlm 111
[8] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm 126
[9] Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat II. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Hlm 124
[10] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hlm 23.
[11] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm 127
[12] Slamet, Aminuddin. Fiqih Munakahat II. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) Hlm
[13] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm 134
[14] Abdul Hadi, Fiqih Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hlm 32


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAUHID ILMU KALAM (ALIRAN ASY’ARIYAH)

TAFSIR (Metode Tafsir Bi Al-Matsur dan Bi Al-Ra’yi)