TAFSIR (Metode Tafsir Bi Al-Matsur dan Bi Al-Ra’yi)
METODE TAFSIR BIL-MATSUR DAN BIL-RA’YI
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir
Dosen Pengampu : Drs. H. Djedjen Zainuddin M.Pd

Kelompok 10
Annisa Aulia Berliana
Khalid Ibnu Sina
Romadhon Isnaeni
PAI 2B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar
Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2019
Al-Qur’an diturunkan oleh
Allah SWT adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan
al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim
atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi
petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang
benar. Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami
oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang
namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk
menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat
al-Qur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga
terdapat ayat-ayat yang muhkam. dan mutasyabih.
sebagian besar ulama
berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia
memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang
mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin,Ilmu Qira’ah,Asbab
al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
dalam makalah ini akan membahas tentang
Metode Tafsir Bi Al-Matsur dan Bi Al-Ra’yi
1. Apa pengertian dan jenis jenis tafsir Bi Al-Matsur?
2. Apa pengertian dan jenis jenis tafsir Bi Al-Ra’yi?
1. Untuk memahami pengertian dan jenis-jenis tafsir Bi Al-Matsur
2. Untuk memahami pengertian dan jenis-jenis tafsir Bi Al-Ra’yi
Metode Tafsir Bi
Al-Matsur adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan, tafsir yang merujuk
pada penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau penafsiran Al-Qur’an dengan
Hadits melalui penuturan para sahabat.
Metode Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi.
Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah
SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur
perkara batil dari-Nya.
Tafsir bil ma’tsur adalah metode
penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-Qur’an, Hadist
Nabi, kutipan Sahabat serta Tabi’in. Ditafsirkan dengan Sunnah karena ia
berfungsi menjelaskan Al-Qur’an, dengan perkataan Sahabat karena merekalah yang
paling mengetahui Al-Qur’an, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar
Tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.karena mereka
adalah orang-orang yang menyaksikan di saat turunnya wahyu dengan sanad yang
sahih dari Rasululloh SAW atau dari sahabat. Penafsiran merekalah yang layak
untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka adalah orang yang dididik
Rasululloh SAW dalam berbagai aspek[1].
Berikut contoh-contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an
dengan Hadits dan tafsir al-Qur’an dengan perkataan sahabat[2].
- Tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an
Sebagai contoh firman Allah dalam Al-Qur’an
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا
مُنْذِرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.” (QS.
Ad-Dukhan:3).
Dan penjelasan kalimat “lailah al-Mubarakah” dijelaskan
dengan firman-Nya;
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an)
pada malam kemuliaan, (lailah al-Qadar).” (QS. Al-Qadr:1).
Jadi yang dimaksud “lailah al-Mubarak” adalah “lailah
al-Qadar”. Contoh penjelasan diatas menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu sendiri
yang menerangkan maksud makna yang dikandungnya.
- Tafsir Al-Qur’an dengan Hadits
Rasulullah adalah
mufassir yang paling baik, sebab dia secara spiritual telah ditunjuk Allah
untuk mencerahkan wahyu kepada manusia. Rasul juga menjelaskan kepada manusia
untuk memahami Al-Qur’an. Ketika Rasul ditanya tentang suatu ayat,
jawab-jawaban yang diberikan menjadi tafsir ayat-ayat yang paling tepat.[3]
Misalnya ketika turun ayat:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Artinya: “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat
wustha. Berdirilah untuk Allah dalam sholatmu dengan khusyuk“
(QS Al-Baqarah: 238).
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang “Shalat Wustha”.
Kemudian Rasulullah menjawab yang dimaksudnya adalah shalat ashar
Sudah tentu,
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan Hadits, merupakan metode
tafsir yang berkualitasnya. Oleh karena, metode inilah yang mesti diterima.
Metode pertama karena hanya Allah yang maha mengetahui tafsirnya. Metode yang
kedua, metode Rasul, bersandarkan pada maksud ayat kepada manusia seperti
diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
(QS. An-Nahl:44)
- Tafsir Al-Qur’an dengan
menggunakan penjelasan perkataan sahabat
Bagian ketiga
tafsir bi al-matsur tetap menjadi pembahasan disini yang juga layak diterima,
karena para sahabat hidup dengan Rasul dan dapat menangkap makna sesungguhnya,
mereka juga menyaksikan saat turunnya wahyu dan penuh perhatian terhadap
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wahyu tersebut, mereka memiliki
ketenangan dan kesempurnaan jiwa serta sifat-sifat yang terpuji, kemampuan yang
tinggi, kelancaran dan kefasihan berbicara dan kemampuan-kemampuan lainnya.
Mereka mempunyai kualifikasi yang tinggi dalam hal kebenaran dan kesempurnaan
memahami kalam Allah SWT. Mereka juga mempunyai kesadaran yang lebih tinggi
dalam menangkap rahasia Al-Qur’an dibanding dengan orang lain. Dalam menerima
tafsir mereka, Ibnu Katsir menyatakan: “Jika kita tidak menerima tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau Hadits Nabi, kita harus kembali kepada
perkataan para sahabat yang paling mengetahui seluk beluknya. Hal ini karena
mereka menyaksikan turunnya wahyu dan kepekaan terhadap kondisi saat ini dan
mampu memahami ilmu yang benar dan perilaku mereka terpuji”. Meskipun para
sahabat tidak menafsirkan ayat-ayat tertentu.[4]
Tafsir bir ra’yi ialah suatu usaha mengembangkan penafsiran
al-Qur’an bil ma’tsur dengan ijtihad akal setelah seorang mufassir itu memenuhi
syarat-syarat seorang mufassir. Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad
(kebebasan penggunaan akal) yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar,
menggunakan akal sehat dan persyaratan yang ketat.[5]
Terlebih lagi penafsiran itu tidak
semata-mata terikat pada al-ra’yu (pikiran) atau al-hawa
(keinginan) atau penafsiran Al-Qur’an menurut keinginan sendiri (hawa nafsu),
kesukaan dan kecenderungan-kecenderungan lain. Al-Qurthubi menyatakan
barangsiapa yang mengucapkan sesuatu berdasarkan pikiran dan kesannya tentang
Al-Qur’an atau memberikan isyarat-isyarat dengan sengaja tentang prinsip dasar,
ia patut dicap telah melakukan kesalahan dan penyimpangan, dan kepribadian
orang tersebut tidak dapat dipercaya.
Jenis tafsir ini juga disebut tafsir bi al-dirayah (tafsir
berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir
yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahanat dan
tabi’in. Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung di
dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan
pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan
Al-Qur’an.
Ulama yang menempuh
metode bi al-Ra’yi ini bersandar di antaranya pada firman Allah:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Artinya: “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur=an ataukah
hati mereka sudah terkunci?” (QS.
Muhammad: 24)
Juga pada firman Allah:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا
آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat
pelajaran”. (QS. Sad: 29)
Ulama mengajukan beberapa
syarat untuk kebolehan penggunaan metode Tafsir bi al-ra’yi ini dalam
menafsirkan Al-Qur’an, di antaranya:[6]
1.
Menguasai
ilmu bahasa arab agar dapat menerangkan kosakata sesuai penggunaan dan
maksudnya
2.
Menguasai
ilmu nahwu karena makna itu berubah sesuai dengan kedudukan i’rab-nya
3.
Menguasai
ilmu sharaf agar memahami perubahan bentuk lafal dan kalimat
4.
Memahami
ilmu Balagah (Ma’ani, Badi’ dan Bayan)
5.
Memahami
ilmu Qira’at agar dapat memilih makna yang lebih kuat yang terkandung dalam
satu lafal
6.
Memahami
ilmu Usul-Fiqh agar dapat menggali hukum dari ayat Al=Qur’an
7.
Menguasai
‘Ulumul-Qur’an
Jenis-jenis tafsir Bi Al-Ra’yi
Tafsir Bi Al-Ra’yi dibagi dalam dua kategori, yaitu
tafsir yang terpuji dan tafsir yang tercela.[7]
1.
Tafsir yang terpuji
Tafsir yang terpuji
ialah tafsir Al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan
dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa Arab. Karena tafsir
ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pikirannya, dengan memenuhi
persyaratan dan bersandarkan kepada makna-makna Al-Qur’an, penafsiran seperti
ini dibolehkan dan dapat diterima. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafir
yang terpuji atau sah.
2.
Tafsir yang tercela
Tafsir yang tercela
ialah tafsir Al-Qur’an tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang benar, yaitu
tafsir yang didasarkan hanya kepada keinginan seseorang dengan mengabaikan
peraturan dan persyaratan tata bahasa serta kaidah-kaidah hukum islam.
Selanjutnya tafsir ini merupakan penjelasan Kalamullah atas dasar pikiran atau
aliran yang sesat dan penuh dengan bid’ah atau inovasi yang menyimpang. Tafsir
semacam ini disebut dengan tafsir tercela atau tafsir palsu[8]
Di dalam tafsir bi al-ra’yi
juga terdapat aliran-aliran tafsir yang dipandang tercela. Hal ini disebabkan
penulisnya tidak lagi bertujuan menjelaskan maksud dari setiap ayat dalam
Al-Qur’an, tetapi cenderung membela kepentingan golongan dan mazhab serta
memperturutkan kehendak sendiri.
Prof. Dr. Subhi Saleh menyebutkan tiga aliran tafsir seperti itu,
yakni:
1.
Tafsir golongan Muktazilah
Umumnya kitab-kitab tafsir
yang disusun oleh golongan Muktazilah terlalu memuja atau mendewakan akal,
senang membicarakan masalah kalam dan berorientasi pada kaidah yang mereka sepakati
bersama, yakni:
“Yang baik itu adalah apa yang baik menurut akal dan yang buruk
itu adalah apa yang buruk menurut akal”
Mereka mendudukkan hadis-hadis Nabi sebagai menempati posisi kedua
sesudah akal dan agak jarang mereka pakai sebagai bahan penafsiran Al-Qur’an.
Yang utama adalah akal yang menjadi pertimbangan pokok dalam menerangkan makna
ayat-ayat.[9]
Contoh sistem penafsirannya
adalah dalam ayat:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ
وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka,
penglihatan mereka telah tertutup dan mereka akan mendapat azab yang berat”
(QS. Al-Baqarah: 7)
Menurut az-Zamakhsyari, andaikata “mengunci hati” itu perbuatannya
disandarkan atau dinisbahkan kepada Allah SWT berarti kita meyakini bahwa Allah
membuat sesuatu perbuatan buruk atau jahat, padahal dalam ayat lain disebut:
وَمَا أَنَا بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Artinya: “Dan aku tidak menzalimi hamba-hamba-Ku” (QS. Qaf: 29)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ ۖ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji” (QS. Al-A’raf: 28)
Oleh karena itu, beliau
menakwilkan pengertian bahwa “mengunci hati” yang dalam ayat itu disebutkan
Allah sebagai pelakunya, dengan pengertian bahwa ayat ini adalah isti’arah atau
majaz. Misalnya ayat ini harus diartikan bahwa setanlah yang mengunci hati itu
atau orang yang kafir, sedang Allah hanyalah memberikan kemugkinan dan
kesempatan berbuat demikian kepada setan
Cara penafsiran seperti itu
adalah dalam rangka membela prinsip bahwa segala sesuatu yang baik harus
disandarkan kepada Allah, sedangkan yang jahat tidak boleh disandarkan
kepada-Nya; sehingga ayat di atas pun ditafsirkan sedemikian rupa dengan maksud
untuk mentanzihkan (mensucikan) Allah dari segala sifat yang jahat (seperti
mengunci hati dari petunjuk-Nya)
2.
Tafsir Golongan Sufi
Golongan sufi menitikberatkan uraiannya
pada masalah-masalah kejiwaan (ruhiyah) sebagai pangkal tolak dari pengajaran
sufisme. Kadang-kadang mereka membiarkan begitu saja ayat-ayat lain, sedangkan
pada ayat-ayat yang berhubungan dengan soal yang mereka inginkan ditafsirkan
dengan panjang lebar
Diantara tafsir yang seperti
itu adalah buah tangan dari mufassir Syekh Muhyuddin Ibnu ‘Arabi. Kebanyakan
ulama tidak membenarkan kalau penafsiran sufisme ini dikaitkan dengan beliau[10]:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَزِيزًا حَكِيمًا
Artinya: “Orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak
akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti
dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha
perkasa, Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 56)
“Mengingkari ayat-ayat kami” ditafsirkan sebagai penutup diri dari
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang sudah tajalli (tampak dengan jelas).
Neraka diuraikan sebagai api yang begitu hebat dan panas sebagai perwujudan
dari sifat-sifat kemahaperkasaan Allah yang tajalli sesuai dengan lingkungan
mereka. Kulit diartikan dengan hijab (dinding),. Perkasa (‘aziz) diartikan
dengan kekuatan yang memaksa dan menghina sesuai dengan rendah atau hinanya
sifat-sifat yang mereka miliki. Bijaksana (hakim) diartikan dengan pembalasan
yang diberikan Allah kepada mereka dengan azab yang sesuai menurut pilihan
mereka sendiri, akibat memperturutkan nafsu dan kesenangan jasmani.[11]
Yang hampir mirip dengan ini adalah
yang disebut dengan tafsir isyarat (tafsir isyari). Dalam aliran ini pengarang
berusaha menakwilkan ayat-ayat kepada makna yang bukan lahiriah, tetapi selalu
memelihara hubungan antara makna lahir dan yang tersembunyi. Contohnya adalah
tafsir Rahul-Ma’ani yang disusun oleh Imam al-Alusi.
Contoh;
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ
خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu dan
Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), “Pegang teguhlah apa
yang telah Kami berikan kepadamu dan ingatlah apa yang ada di dalamnya, agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 63)
Janji diartikan sebagai janji yang dengan petunjuk-petunjuk akal,
yakni dalam hal mentauhidkan segala perbuatan dan sifat-sifat gunung berarti
“hati Musa” dan mengangkatnya kepada ketinggian dan udara bimbingan[12]
3.
Tafsir Golongan Batiniah
Golongan ini semata-mata
membatasi diri dengan menafsirkan ayat-ayat dengan mengambil makna batiniah
sebuah ayat dan meninggalkan makna lahiriahnya mereka berasalan dengan firman
Allah;
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ
الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
Artinya: “Lalu diantara mereka
dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan
diluarnya hanya ada azab” (QS.
Al-Hadid: 13)
Metode Tafsir Bi Al-Matsur adalah tafsir
yang didasarkan pada periwayatan, tafsir yang merujuk pada penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, atau penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits melalui penuturan
para sahabat. Metode ini merupakan tafsir yang tertinggi yang tidak dapat di
bandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan di saat turunnya wahyu.
Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka
adalah orang yang dididik Rasululloh SAW dalam berbagai aspek.
Tafsir bir ra’yi ialah suatu usaha
mengembangkan penafsiran al-Qur’an bil ma’tsur dengan ijtihad akal setelah
seorang mufassir itu memenuhi syarat-syarat seorang mufassir. Istilah ra’yun
dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal) yang didasarkan atas
prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan yang ketat.
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, tetapi kenyataannnya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan kedepannya.
Departemen
Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi
Thameem
Ushama. 2000. Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Terjemahan oleh Hasan Basri.
Jakarta: Riora Cipta
Anwar Rosihan. 2000. Ilmu
Tafsir, Bandung: CV Pustaka Setia
[1] Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2016) Hlm 112
[2] Rosihan, Anwar, Ilmu
Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm 98
[3]
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Terj. Hasan Basri.
(Jakarta: Riora Cipta, 2000) Hlm 139
[5] Rosihan, Anwar, Ilmu
Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm 111
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,
2016) Hlm 129
[7] Thameem Ushama, Metodologi
Tafsir Al-Qur’an, Terj. Hasan Basri. (Jakarta: Riora Cipta, 2000) Hlm 120
[8] Rosihan, Anwar, Ilmu
Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm 117
[11] Thameem
Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Terj. Hasan Basri. (Jakarta: Riora
Cipta, 2000) Hlm 122
Komentar
Posting Komentar