HADIS (HADIS TENTANG TINGKAH LAKU TERPUJI)
HADITS TENTANG TINGKAH LAKU TERPUJI
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits
Dosen Pengampu : H. M. Iqbal Lutfi, B.Sh., MM

Kelompok 11
Aldy Alamsyah
Annisa Aulia Berliana
Asna Maziyah Ilahiyah
PAI 2B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar
Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2019
Islam adalah agama yang benar. Agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk meluruskan aqidah dan akhlak umat manusia. Islam
mengajarkan kita bagaimana berprilaku terpuji, baik dalam hidup bermasyarakat
maupun dalam bernegara seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi
Muhammad SAW adalah suri tauladan yang baik yang patut dicontoh dan diikuti
oleh umatnya. Seperti yang kita ketahui Rasulullah SAW memiliki sifat-sifat
terpuji yaitu: siddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan) dan
Fatonah (cerdas).
Banyak hadits
yang menunjukkan agungnya perkara kejujuran dimana ujung-ujungnya akan membawa
orang yang jujur ke jannah serta menunjukan akan besarnya keburukan dusta
dimana ujung-ujungnya membawa orang yang dusta ke neraka.salah satu ciri orang
yang jujur adalah senantiasa berbuat kebajikan. Diantara kekemanisan yang akan
diapat oleh seseorang yang jujur adalah akan mendapat pertolongan Allah.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
dalam makalah ini akan membahas tentang
hadis tentang tingkah laku terpuji
1.
Apa
pengertian Sikap Terpuji?
2.
Mengapa
penting untuk berbuat jujur dalam kepribadian seorang muslim?
3.
Apakah
orang yang jujur mendapat petolongan Allah?
1.
Untuk mengetahui pengertian sikap terpuji
2.
Untuk memahami
pentingnya kejujuran
3.
Untuk mengetahui bahwa orang yang jujur akan mendapat
pertolongan Allah
Akhlak terpuji ialah sikap atau perilaku baik dari segi ucapan
ataupun perbuatan yang sesuai dangan tuntunan ajaran islam dan norma-norma
aturan yang berlaku. Akhlak terpuji yang ditujukan kepada Allah SWT berupa
ibadah, dan kepada Rasulullah SAW dengan mengikuti ajaran-ajarannya, serta
kepada sesama manusia dengan selalu bersikap baik kepada sesama.[1]
Akhlak terpuji adalah akhlak
yang meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah SWT dan juga dalam pandangan
manusia. Memiliki akhlak yang baik atau akhlak mulia bagi setiap manusia
adalah suatu hal yang sangat penting. Karena dimanapun kita berada, apapun
pekerjaan kita, akan disenangi oleh siapa pun. Artinya, akhlak menentukan baik
buruknya seseorang di hadapan sesama, karena Rasulullah SAW pun diutus ke dunia
ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dapat disimpulkan bahwa
akhlak terpuji adalah sikap atau perbuatan seorang muslim baik dari segi
ucapannya ataupun perbuatannya yang tidak melanggar dari apa yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW dan ajaran-ajaran islam.
Sifat jujur merupakan faktor
terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama
juga tidak bisa tegak di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang.[2]
Dalam bahasa Arab, Jujur merupakan terjemahan dari kata shiddiq yang
artinya benar, dapat dipercaya. Dengan kata lain, jujur adalah perkataan dan
perbuatan sesuai dengan kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat-sifat
terpuji
Jujur dan
mempercayai kejujuran, merupakan ikatan yang kuat antara para rasul dan
orang-orang yang beriman dengan mereka. Bahkan dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa
orang yang selalu jujur dan selalu menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai
orang yang bertakwa:
وَالَّذِي
جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ(33)
هُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ
جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ(43)
Artinya: “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa
yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang
yang berbuat baik,”.(QS Az-Zumar: 33-34)
Karena tingginya kedudukan
perbuatan jujur di sisi Allah, juga dalam pandangan Islam serta dalam pandangan
orang-orang beradab dan juga akibat akibatnya yang baik, serta bahaya perbuatan
bohong dan mendustakan kebenaran; Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:[3]
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ البَاهِليِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَا زَعِيمٌ ببَيْتٍ فِي رَبْضِ الجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ، وَإنْ كَانَ مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ في وَسَطِ الجَنَّةِ
لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ، وَإنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ في أعلَى الجَنَّةِ
لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
﴿رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ صَحِيْح)
1. Terjemah Hadis:
"Abu Umamah
Al-Bakhili ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Saya dapat menjamin suatu rumah di kebun
surga untuk orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar .Dan menjamin
suatu rumah di pertengahan surga bagi orang yang tidak berdusta meskipun
bergurau. Dan menjamin satu rumah di bagian tertinggi dari surga bagi orang
yang baik budi pekerlinya "(H.R. Abu Dawud dengan sanad yang sahih)
2. Biografi Perawi
Abu Umamah Al-Bakhily, nama
lengkapnya adalah Abu Umamah Ash-Shady Al-Bakhily Ibn Ajalan Ibn Ribah Ibn
Ma'an Ibn Malik Ibn Ashar Ibn Sa'id Ibn Qais Ailan Ibn Mudhar Ibn Najar Ibn
Mu'adalah Ibn Adnan. la termasuk salah seorang sahabat yang masyhur.[4]
Ia meriwayatkan hadis dari
Rasulullah, SAW. sebanyak 250 hadis. Diriwayatkan oleh Al-Bukharl sebanyak 5
hadis, dan diriwayatkan oleh Muslim sebanyak tiga hadis. Hadis-hadisnya banyak
diriwayatkan pengarang Kitab Sunan yang enam.
Dia tinggal di Mesir dan
meninggal di sana pada tahun 81 atau 86 H. la termasuk sahabat paling akhir
yang meninggal di Syam dan hadis-hadisnya banyak dikenal orang-orang Syam.
3. Penjelasan Hadis
Hadis ini menerangkan tiga
perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga dari Rasullullah bagi mereka
yang memilikinya. Tentu saja, ketiga perilaku ini harus diiringi berbagai
kewajiban lainnya yang telah ditentukan Islam. Ketiga perilaku tersebut adalah:
a)
Orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar
Berdebat atau
berbantah-bantahan adalah suatu pernyataan dengan maksud untuk menjadikan orang
lain memahami suatu pendapat atau mengurangi kewibawaan lawan debat dengan cara
mencela ucapannya sekalipun orang yang mendebatnya itu tidak tahu persis
permasalahan, karena kebodohannya. Dan yang lebih ditonjolkan dalam berdebat
adalah keegoannya sendiri sehingga ia berusaha mengalahkan lawan dengan
berbagai cara.
Sebenamya, tidak semua
bentuk perdebatan dilarang dalam Islam apalagi jika berdebat dalam mempertahankan aqidah. Hanya
saja, perdebatan seringkali membuat orang lupa diri, terutama kalau perdebatannya
dilandasi oleh keegoan masing-masing, bukan didasarkan pada keinginan untuk
mencari kebenaran.
Tidak sedikit orang yang
memiliki ego sangat tinggi dan tidak mau dikalahkan oleh orang lain ketika
berdebat walaupun dalam hatinya ia merasa kalah. Tipe orang seperti itu,
biasanya selalu berusaha untuk mempertahankan idenya dengan cara apapun.
Kalaupun dilayani, yang terjadi- bukan lagi adu mulut melainkan adu fisik. Oleh
karena itu, perdebatan hendaknya dihindari karena berbahaya dan dianggap salah
satu perbuatan sesat. Sebagaimana Rasulullah SAW Bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ
بَعْدَ أَنْ هَدَاهُمُ اللهُ إِلَّا أوْتُوْاالجَدَلَ. (رواه الترمذى عن أبى أمامة)
Artinya: "Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat
petunjuk Allah. kecuali kaum mendatangkan perdebatan.” (H.R.
At-Tirmidzi, dari Abu Umamah)
Adapun dalam menghadapi
orang yang selalu ingin menang dalam setiap perdebatan, Nabi menganjurkan
umatnya untuk meninggalkannya, dan membiarkannya beranggapan bahwa dia menang
dalam perdebatan tersebut. Dengan berperilaku seperti itu, bukan berarti kalah
dalam perdebatan tersebut, melainkan menang di sisi Allah dan mendapat pahala
yang besar, sebagaimana Nabi menyatakan bahwa dijaminkan surga baginya.[5]
b)
Orang yang tidak berdusta meskipun bergurau
Berdusta adalah menyatakan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dusta sangat dilarang
dalam islam. Karena selain merugikan orang lain, juga merugikan orang lain.
Sebaliknya, islam sangat
menghargai orang yang bersifat jujur walupun dalam bercanda. Orang-orang yang
selalu jujur, sekali pun dalam bercanda sebagaimana di sebutkan dalam hadis diatas
dijaminkan oleh Rasululloh SAW. Satu tempat ditengah surga.
c)
Orang yang baik budi pekertinya
Sifat lainnya yang
meningkatkan derajat seseorang disisi Allah SWT. Dan juga dalam pandangan
manusia adalah akhlak terpuji. Sifat orang yang berakhlak mulia, diantaranya
adalah bermuka manis, berusaha untuk membantu orang lain dalam perkara yang
baik, serta menjaga diri dari perbuatan jahat. Orang yang memiliki sifat
seperti itu selain dijanjikan surga sebagaimana dinyatakan dalam hadis diatas,
juga dianggap sebai orang yang paling baik diantara sesama manusia lain.[6]
Dalam hadis sudah dijelaskan
tadi, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih itu yang telah
ditulis dan diterangkan di dalam makalah ini ada tiga perilaku dalam
pergaulan dimasyarakat, yaitu meninggalkan perdebatan meskipun ia benar, tidak
berdusta meskipun bergurau, dan baik budi pekertinya.
Bahwasannya dalam hadis
tersebut dilarang untuk berdebat dengan dilandasi keegoan, berdebat yang
benar ialah di dasarkan pada keinginan untuk mencari kebenaran.
Dalam hadis ini juga
menjelaskan bahwa tidak boleh berdusta meskipun bergurau, karena dusta itu
perbuatan tercela walupun tujuan bergurau itu mengundang tawa orang. Alasan
apapun bergurau dengan dilandasi kebohongan tetap dilarang dalam islam.Dalam
hadis ini juga mengajarkan manusia untuk memiliki sifat budi pekerti yang baik.
Karena orang yang baik budi pekertinya akan ditingkatkan derajatnya disisi
Allah Swt dan juga di janjikan surga serta dianggap sebagai orang yang
paling baik diantara sesama manusia yang lain.
حَدِيثُ
عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ
البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ
صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِي
إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ الله
كَذَّابًا». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
1.
Terjemah Hadist:
Abdullah ibn
Mas’ud berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kejujuran
akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga,
sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur, ia akan dicatat
sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada
kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan
sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta, ia akan dicatat sebagai
seorang pendusta.”
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “tatakrama” bab: firman
Allah Ta’ala: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
jadilah kamu semua bersama orang-orang yang benar)
2.
Biografi Perawi
Dia adalah Abu Abdurrahman
Abdullah bin Mas’ud masuk islam di Mekkah, pernah hijrah ke Habsyi kemudian ke
Madinah dan menyaksikan perang badar. Ia Meninggal di Madinah tahun 32 H dalam
usia 60 tahun. Beliau telah meriwayatkan 848 hadis, sebanyak 40 hadis
disepakati oleh Bukhari dan Muslim, Imam Bukhari sendiri dalam 21 hadis dan
Muslim sendiri dalam 35 hadis[7]
3.
Penjelasan hadis
Sebagaimana diterangkan di atas
bahwa berbagai kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang jujur, baik
di dunia maupun kelak di akhirat, ia akan dimasukkan ke dalam surga dan
mendapat gelar yang sangat terhormat yaitu shiddiq yang artinya orang yang sangat
jujur dan benar.
Dalam sebuah riwayat disebutkan
tentang seorang badui yang meminta nasihat kepada Rasululloh kemudian beliau
hanya berkata “jangan bohong” pekataan Rasululloh tersebut terus
terngiang-ngiang di telinga sang badui sehingga setiap kali dia akan melakukan
perbuatan tercela, dia berpikir bahwa Rasululloh pasti akan menanyakannya dan
dia harus jujur. Dia pun tidak jadi melakukan perbuatan terlarang tersebut.
Sebenarnya, Allah SWT telah
memperingatkan kepada hamba-Nya agar berhati-hati dalam setiap ucapan dan
perbuatan karena setiap orang selalu diawasi dan dicatat segala gerak geriknya
oleh malaikat Raqib dan ‘Atid . Seperti dalam firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Artinya : “Tiada mengatakan sepatah kata pun, melainkan ada
pengawas yang selalu siap mencatat (malaikat Raqib Atid)” (QS. Qaf: 18)
Oleh karena itu, setiap orang
beriman hendaklah tidak asal bicara apalagi terhadap sesuatu yang belum jelas
dan belum ia ketahui kebenarannya secara pasti. Allah SWT, berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti pembicaraan apa yang
tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra’: 36)
Jika seseorang berusaha untuk
berkata benar, manfaatnya bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
orang lain. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berkata dusta, perbuatannya
itu selain merugikan dirinya juga merugikan orang lain karena tidak akan ada
lagi orang yang mempercayainya. Padahal kepercayaan merupakan salah satu modal
utama dalam menempuh kehidupan di dunia. Tanpa kepercayaan seseorang sulit
meraih kesuksesan, bahkan tidak mustahil hidupnya akan cepat hancur. Hal ini
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an:
قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ
Artinya: “Sungguh celaka
orang-orang yang suka berdusta” (QS. Adz-Zariyat: 10)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ أَخَذَ
أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ
يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ».
﴿رَوَاهُ البُخَارِيّ وَابْنُ مَاجَه
وَغَيْرُهُمَا﴾
1.
Terjemah Hadist:
“Abu Hurairah r.a, berkata bahwa
Rasululloh SAW bersabda barang siapa yang menggunakan harta orang lain (untuk
berdagang) dan dia ingin mengembalikannya, maka Allah akan membanu
mengembalikannya. Dan barang siapa mengambilnya dengan maksud untuk merusaknya,
Allah pun akan merusaknya” (HR. Bukhari, Ibnu Majah dan lain-lain)
2. Penjelasan singkat
Dalam
kehidupan masyarakat, ada sebagian orang yang suka meminjam uang atau barang
kepada orang lain untuk digunakan sebagai peminjam usahanya. Hal itu
diperbolehkan dalam islam dan Allah SWT akan menolong mereka, jika mereka
berniat untuk menggunakannya sebagai penunjang usahanya dan berniat untuk
mengembalikan kepada pemiliknya [8]
Peminjam
tidak berniat menipu pemilik modal dengan menggunakan uang yang dipinjamnya
untuk berfoya-foya sehingga uang tersebut habis begitu saja dan ia sendiri
tidak memiliki uang untuk menggantinya. Hal itu merugikan pemilik modal karena
akan menghentikan usahanya, yang sangat penting untuk membiayai keluarganya.
Oleh
karena itu, setiap peminjam modal hendaknya ingat bahwa harta tersebut adalah
amanat yang dipercayakan oleh pemilik kepadanya. Dalam islam umatnya selalu
diingatkan untuk menjaga amanat tersebut kepada pemiliknya, sebagaimana firman
Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ
النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT
menyuruh kamu semua agar memenuhi amanat kepada yang berhak menerimanya dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (QS. An-Nisa: 58)
Begitu pula seorang peminjam modal.
ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kepercayaan yang diraihnya
tersebut dengan cara mengembalikan modal yang dipinjam nya pada waktu yang
telah disepakati. Jika ia berbuat demikian, pemilik modal akan semakin
mempercayai nya. Ini berarti, jika ia memerlukan modal lagi, ia tidak akan
mengalami kesulitan.
Selain akan mendapat predikat
Shiddiq sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terlebih dahulu, ia juga akan
dimudahkan Allah SWT dalam setiap usahanya, terutama dalam usahanya untuk
mengembalikan modal yang diamanatkan padanya. Allah SWT berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya: “Barang siapa yang bertakwa
kepada Allah SWT, dia akan menjadikan dari urusannya mudah” (QS. Thalaq: 4)
Sebaliknya, apabila dia bermaksud
berkhianat, yakni, meminjam barang atau harta tersebut untuk dirusak atau
sengaja tidak akan mengembalikannya, Allah SWT akan membalas perbuatan zalim
tersebut, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ
غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ
تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Artinya: “Dan janganlah sekali-kali
kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai
hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim:42)
Selain itu, bagi mereka yang
memiliki tabiat jelek seperti itu, tidak akan pernah lagi dipercaya oleh orang
lain. Jika terdesak oleh kebutuhan tidak ada lagi yang mau menolongnya atau
mencoba untuk menitipkan suatu amanat kepadanya
Hal ini menunjukkan bahwa penunaian suatu amanah sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Adapun khianat (tidak menunaikan amanah) telah
disepakati sebagai perbuatan tercela, baik dalam pandangan Allah maupun
pandangan manusia. Dalam suatu hadis dikategorikan sebagai salah satu sifat
orang munafik, sebagaimana sabda Rasululloh SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Abu Hurairah r.a
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ
Artinya: “Tanda orang munafik ada tiga,
jika ia berkata, ia berdusta: jika berjanji, ia mengingkari: dan jika
dipercaya, ia berkhianat”
Akhlak terpuji adalah sikap atau perbuatan seorang muslim baik dari segi
ucapannya ataupun perbuatannya yang tidak melanggar dari apa yang telah
dicontohkan Rasulullah SAW dan ajaran-ajaran islam.
Bersikap jujur dalam segala hal akan mendapatkan pertolongan Allah SWT.
Sebaliknya, bersifat khianat akan mendapat keburukan di dunia maupun di
akhirat. Kejujuran akan mendapat kebajikan dan orang yang jujur akan selalu
mendapat pertolongan Allah.
Tiga perilaku penting yang mendapatkan jaminan surga dari rasulullah
bagi mereka yang memilikinya. Tentu saja, ke tiga perilaku ini harus di iringi
berbagai kewajiban lainnya yang telah ditentukan islam. Ketiga perilaku
tersebut adalah:
1. Orang
yang meninggalkan perdebatan meskipun ia benar
2. Orang
yang tidak berdusta meskipun bergurau.
3. Orang
yang baik budi pekertinya
Seorang peminjam modal. ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga
kepercayaan yang diraihnya tersebut dengan cara mengembalikan modal yang
dipinjam nya pada waktu yang telah disepakati. Jika ia berbuat demikian, pemilik
modal akan semakin mempercayai nya. Ini berarti, jika ia memerlukan modal lagi,
ia tidak akan mengalami kesulitan.
Meskipun
kami menginginkan kesempurnaan dalam
penyusunan makalah ini, tetapi kenyataannnya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.
Hulaifah.
2015. Metode Gerakan Dalam Menghafal Hadits, Jakarta: Madrasah Terpadu
An-Nahl
Syafe’i, Rachmat. 2003. Al-Hadis
(Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum). Bandung: Pustaka Setia
Rachmat. 2000. Al-Hadis (Aqidah,
Akhlak, Sosial dan Hukum). Bandung: Pustaka Setia
[1] Hulaifah, Metode
Gerakan Dalam Menghafal Hadits, (Jakarta: Madrasah Terpadu An-Nahl, 2015)
Hlm
[2] Syafe’i,
Rachmat, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum), (Bandung: Pustaka
Setia, 2003) Hlm
[3]
Hulaifah, Metode Gerakan Dalam Menghafal Hadits, (Jakarta: Madrasah
Terpadu An-Nahl, 2015) Hlm
[4]
Rachmat, Al-Hadis ((Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum), (Bandung: Pustaka
Setia, 2000) Hlm
[5]
Hulaifah, Metode Gerakan Dalam Menghafal Hadits, (Jakarta: Madrasah
Terpadu An-Nahl, 2015) Hlm
[6]
Rachmat, Al-Hadis ((Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum), (Bandung: Pustaka
Setia, 2000) Hlm
[7]
Syafe’i, Rachmat, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum), (Bandung:
Pustaka Setia, 2003) Hlm
[8]
Hulaifah, Metode Gerakan Dalam Menghafal Hadits, (Jakarta: Madrasah
Terpadu An-Nahl, 2015) Hlm
Komentar
Posting Komentar