ULUMUL HADITS (Sejarah Hadits Pra Kodifikasi Dan Pasca Kodifikasi)
SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI DAN PASCA KODIFIKASI
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Ratna Dewi M.Pd

Kelompok 5
Annisa Aulia Berliana
Lidya Hasna
Khalid Ibnu Sina
PAI 3B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar
Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2019/2020
Segala puji bagi Allah Swt yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita
nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah
Swt atas limpah nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal
pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata
kuliah ulumul hadis dengan judul “Sejarah
hadis pra kodifikasi dan pasca kodifikasi” .
Penulis tentu menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya .
Jakarta, 7 November 2019
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks
keagamaan seperti tafsir, fiqih dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai
sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran
wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam
yang berfungsi sebagai penjelas Al-qur’an.
Keberadaan hadis sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks.
Tentunya hadis memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran
islam. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi, para
sahabat, dan para tabiin.
Munculnya hadits-hadits palsu merupakan alasan
yang amat kuat untuk mengadakan kodifikasi hadits. Selain itu, kodifikasi
hadits ketika itu di lakukan karena para ulama hadits telah tersebar ke
berbagai negeri, dikawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya mereka,
sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara
hadits, dan banyak berita – berita yang diada-adakan oleh kaum penyebar bid’ah.
1.
Apakah definisi dari kodifikasi hadis?
2.
Mengapa kodifikasi hadis perlu dilakukan?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan kodifikasi hadis?
4.
Apa saja kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasinya?
1.
Mengetahui definisi dari kodifikasi hadis;
2.
Memahami tujuan dari kodifikasi hadis
3.
Mengkaji sejarah perkembangan kodifikasi hadis
4.
Mengetahui kitab-kitab hasil kodifikasi.
Kodifikasi berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah Tadwîn.
Yang memiliki arti yaitu pencatatan, penulisan atau pembukuan. Sedangkan
kodifikasi hadis sendiri merupakan sebuah proses pencatatan atau pembukuan
hadis Nabi Muhammad SAW.
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan
pengumpulan Hadis dan penulisannya secara besar-besaran juga secara resmi
diperintahkan oleh khalifah. Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi
sebenarnya sudah dilakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih
hidup.
Proses kodifikasi hadis, Pada awalnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran
Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan di masa
pemerintahannya. Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:
- Hilangnya
hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal
hadis di medan perang
- Bercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu
- Meluasnya
daerah kekuasaan islam.
Atau lebih singkatnya,
tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamatkan hadis-hadis
Rasulullah dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Dalam sejarah kodifikasi hadis,
sejarahnya dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
- Sejarah
hadis pada masa pra-kodifikasi
- Sejarah
hadis pada masa pasca kodifikasi
Sejarah
perkembangan hadis pada masa prakodifikasi maksudnya adalah pada masa sebelum
pembukuan. Mulai sejak zaman Rasulullah SAW hingga ditetapkannya pembukuan
hadist secara resmi (kodifikasi). Masa ini terbagi menjadi tiga periode yaitu
masa Rasulullah SAW, masa sahabat dan masa Tabi’in. Adapun periode
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan Hadis pada masa Rasulullah SAW berarti
membicarakan Hadis pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung
kepada Rasulullah SAW sebagai sumber Hadis. Rasulullah SAW membina umat islam
selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus masa
pertumbuhan Hadis.[1]
Keadaan di atas sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam dalam menerima
kedua sumber ajaran tersebut.
Wahyu
yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah dijelaskannya melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau penetapan Rasulullah SAW. Sehingga apa yang
disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan
merupakan pedoman. Rasulullah adalah satu-satunya contoh bagi para sahabat,
karena Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan
manusia lainnya.[2]
Adapun
metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mengajarkan Hadis kepada para
sahabat sebagai berikut:
a. Para
sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW
b. Para
sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
c. Para
sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah
SAW
d. Para
sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasulullah SAW
1) Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang
bisa menulis sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
dengan menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat
meriwayatkan Al-Qur’an, hadis, dan syair dengan baik. Seakan mereka membaca
dari sebuah buku.[3]
Hadis pada waktu itu umumnya hanya diingat dan
dihafal oleh para sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika
disampaikan oleh Rasulullah, karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan.[4]
Secara memang Rasulullah melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara
hadis dan Al-Qur’an. Banyak hadis yang melarang para Sahabat untuk menulis
hadis, diantara hadis yang melarang penulisan hadis adalah:
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدُ الْخُدْرِي اَنَّ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ
عَنِّيي غَيْرَ الْقُرْانِ فَلْيَمْحُهُ. رواهُ مسلمٌ
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Janganlah engkau menulis (hadis) dariku,
barangsiapa menulis dariku selain dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR.
Muslim)”
Alasan pelarangan dalam mencatat hadis pada masa
Rasulullah karena khawatir hadis tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih
proses penurunan. Oleh karena itu, maka pada saat itu Rasulullah melarang keras
kepada sahabat untuk menulis dan mencatat hadis agar tidak bercampur dengan
Al-Qur’an
2) Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah
SAW
Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat,
ada sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Rasulullah
melarang menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada
kesempatan lain Rasulullah memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Abdulloh Ibn Umar, dia berkata: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang ku
dengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang
Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak menulis
(hadis) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian
aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan kejadian itu
kepada Rasulullah. Beliau berabda:[5]
اُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا
خَرَجَ عَنِّي اِلَّا حَقٌّ
“Tulislah,
maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku
kecuali kebenaran”
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang
tidak ditulis dan seandainya Rasulullah tidak pernah melarang pun tidak mungkin
hadis dapat ditulis. Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan berikut:
§ Hadis
disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis
§ Perhatian
Rasulullah dan para sahabat lebih banyak tercurahkan kepada Al-Qur’an
§ Meskipun
Rasulullah mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu
yang turun dan menulis surat-surat Rasulullah
Sangat sulit seluruh
pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang yang masih hidup dapat
langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan alat sederhana.[6]
b. Hadis Pada Masa Sahabat
Rasulullah wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya
beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu
al-Qur’an dan Hadits yang menjadi
pedoman seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Rasulullah wafat, kendali
kepemimpinan umat Islam berada ditangan sahabat Rasulullah. Sahabat Rasulullah
yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as-Shiddiq (wafat 13
H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khathab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin
Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat
khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan
periodenya biasa disebut juga dengan zaman sahabat besar.[7]
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah
era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam pada itu munculah pra
tabi’in besar yang bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para
sahabat Rasulullah yang masih hidup pada masa itu.[8]
Diantara sahabat Rasulullah yang masih hidup setelah periode al-Khulafa
al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits Rasulullah
ialah A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah
bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat 73 H/692
M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai
sumber syari’ah setelah Al-Qur’an. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika
as-Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau
berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits dari Rasulullah. karena khawatir berbuat kesalahan dan
takut as-Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh
karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadits, mereka lebih
memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan
sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan
hadits”. Periode sahabat disebut dengan “Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min
al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam
prakteknya, cara sahabat dalam meriwayatkan hadits sebagai berikut:[9]
§ Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Rasulullah yang
mereka hafal benar lafazhnya dari Rasulullah.
§ Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena
tidak hafal lafazh aslinya dari Rasulullah.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin
tentang periwayatan hadits Rasulullah.[10]
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan
sahabat Rasulullah yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu
Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta
yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk
al-Qur’an dan praktek Rasulullah yang memberikan bagian harta waris kepada nenek.
Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan
kepada Abu Bakar, bahwa Rasulullah telah memberikan bagian harta warisan kepada
nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Rasulullah
menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar
meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah
memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu
Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadits Rasulullah yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.[11]
Kasus
di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat
hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar
meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
Bukti
lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Aisyah
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima
ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan
hadits. Hal ini menjadi bukti sikap kehati-hatian Abu Bakar dalam periwayatan
hadits.
Data
sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman
dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak
sedikit sahabat Rasulullah, khususnya yang hafal al-Qur’an, telah gugur diberbagai
peperangan. Atas desakan Umar bin Khatthab, Abu Bakar segera melakukan
penghimpunan al-Qur’an
Jadi
disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol dikalangan umat Islam.
Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan
hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat
berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemeriksaan hadits
yang diriwayatkan oleh para shahabat.
b. Umar bin Khatthab
Umar
dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya,
ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah
bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain,
diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Rasulullah tentang
apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi
Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian,
karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini”.
Apa
yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa
al-Asyari, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Dengan demikian itu menunjukkan
kehati-hatian Umar dalam periwayatan hadits. Disamping itu, Umar juga menekankan
kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat.
Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami al-Qur’an. Kebijakan Umar melarang para sahabat Rasulullah
memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali
melarang para sahabat meriwayatkan hadits. Larangan Umar tampaknya tidak
tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat
lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan perhatian masyarakat terhadap
al-Qur’an tidak terganggu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:[12]
1. Umar
pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits
Rasulullah dari para ahlinya, karena mereka lebih mengetahui tentang kandungan
al-Qur’an.
2. Umar
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits, Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan
hadits Rasulullah yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus hadits.
Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in
terkenal yang telah menerima riwayat hadits Rasulullah dari Umar. Ternyata
jumlahnya cukup banyak.
3. Umar
pernah merencanakan menghimpun hadits Rasulullah secara tertulis. Umar meminta
pertimbangan kepada para sahabat. Lalu para sahabat menyetujuinya. Tetapi satu
bulan Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat
istikharah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits
itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia
sama sekali tidak menampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya
menghimpun hadits diurungkan bukan karena alasan periwayatan hadits, melainkan
karena faktor lain, yakni takut terganggunya konsentrasi umat islam terhadap
al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan,
bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin Khathab telah lebih banyak
dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini
bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada
periwayatan hadits semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah
memberikan dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Rasulullah.
Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan
periwayatan hadits, karena Umar telah
melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepada para periwayat hadits.
Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam
tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan
kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah
menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan
pemalsuan-pemalsuan hadits.
c. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang
periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua
khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar
bin Khathab.
Usman secara pribadi memang tidak banyak
meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits Rasulullah yang
berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan
hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadits yang banyak terulang
itu adalah hadits tentang berwudu.[13]
Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khathab.[14]
Dari uraian diatas dapat dinyatakan,
bahwa pada zaman Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits
tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan
pada zaman Umar bin Khathab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak
begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar”
dalam periwayatan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi Usman
tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah semakin luas.
Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian
kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun
tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Rasulullah setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar dari Rasulullah. hanyalah terhadap yang benar-benar telah
diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan
riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak
meriwayatkan hadits Rasulullah. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk
lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya
berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan
oleh orang kafir, dan larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam
yang membunuh orang kafir.[15]
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan
hadits melalui riwayat Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits.
Sebagian matan dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanadnya.
Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat
hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah,
kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah Ali bin Abi
Thalib sama dengan zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman
Ali telah berbeda dengan situasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali,
pertentangan politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan
antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik
telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.[16]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah
sebagai berikut:
1. Seluruh
khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
2. Larangan
memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah Umar, tujuan
pokoknya ialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatkan hadits dan
agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
3. Penghadiran
saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara
untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki keterandalan
yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan saksi atau sumpah
4. Masing-masing
khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga
khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya Ali yang
meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.
Adapun penulisan hadits pada masa
Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi,
walaupun pernah khalifah Umar bin khattab mempunyai gagasan untuk membukukan
hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat
istikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena
pertimbang-pertimbangan sebagai berikut:[17]
§ Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap
al-Qur’an. Perhatian sahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an
seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi
mushaf.
§ Para sahabat sudah menyebar sehingga
terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
c. Hadis Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana
para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Hanya
saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti pada masa sahabat. Pada
masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak
menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidin
para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah
tabi’in untuk mempelajari hadis.[18]
Para
sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadis sehingga hadis
tersebar kebanyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadis sebagai berikut:[19]
a. Madinah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Aisyah dan Abu Hurairoh.
b. Mekkah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn Abbas
c. Kufah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Abd Allah Ibn Mas’ud
d. Basrah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Utbah Ibn Gahzwan
e. Syam,
dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
f. Mesir,
dengan tokoh dari kalangan sahabat Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash
Pada
masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga muncul hadis palsu.
Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:[20]
a. Periwayat
hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan
b. Terbatasnya
penulisan dan kodifikasi hadis
c. Terjadinya
periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat
Pemalsuan
hadis dimulai sejak masa Ali Ibn Abi
Thalib bukan karena masalah politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya
pemalsuan hadis dan kekeliruan periwayatan maka para ulama mengambil langkah
sebagai berikut:[21]
a. Melakukan
seleksi dan koreksi tentang nilai hadis atau para periwayatnya
b. Hanya
menerima hadis dari periwayat yang tsiqah saja
c. Melakukan
penyaringan terhadap hadis dari rawi yang tsiqah
d. Meneliti
sanad untuk mengetahui hadis palsu
Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya
ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan hadis. Secara individual, seperti
diuraikan dalam pembahasan di atas, pencatatan telah dilakukan oleh para
sahabat sejak zaman Rasululloh. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan di
sini ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan
beberapa orang yang ahli dalam masalah ini. Bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada
masa-masa sebelumnya [22]
Kegiatan ini dimulai pada masa
pemerintahan islam dipimpin oleh khalifah Umar bin Abd Aziz (yaitu khalifah
kedelapan dari dinasti Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar
memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya
Khalifah menginstruksikan kepada Abu
Bakar bin Muhammad agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti
Abdurrahman al-Anshari yaitu murid kepercayaan Siti Aisyah dan al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakar. Intruksi yang sama ditujukan pula kepada Muhammad bin
Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui
hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama ahli, khususnya az-Zuhri,
sangat mendapatkan penghargaan dari seluruh umat islam, mengingat pentingnya
az-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia
diantara hadis-hadis niscaya sudah banyak yang hilang.
Abu Bakar bin Muhammad berhasil
menghimpun hadis dalam jumlah yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedangkan
Ibnu Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai oleh para ulama lebih
lengkap. Akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap, tidak sampai
diwariskan kepada generasi sekarang.
a.
Latar belakang pemikiran munculnya usaha
kodifikasi hadis
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar
bin Abd Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama ia khawatir hilangnya
hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Ini faktor yang
paling utama, sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkan
kepada para ulama lainnya. Sebab, peranan para ulama pada saat itu juga pada
saat-saat sebelumnya, bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan juga turun
ke medan perang atau bahkan mengambil peranan penting dalam suatu pertempuran.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, bahwa dengan
semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in
antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya
usaha kodifikasi ini.
Dengan melihat berbagai persoalan yang
muncul, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik yang sudah cukup lama dan
mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadis
dari kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar bin Abd Aziz sebagai seorang khalifah
yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah agama, terdorong untuk
mengambil tindakan ini.
Peranan Umar bin Abd Aziz dapat pula
dikemukakan disini, bahwa selain ia terkenal sebagai khalifah pelopor yang
memberi intruksi untuk membukukan hadis, secara pribadi ia juga merupakan aset
dan mengambil bagian dalam kegiatan ini.
Menurut beberapa riwayat, ia turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis
yang sedang dihimpun. Disamping itu, ia sendiri memiliki beberapa tulisan
tentang hadis-hadis yang diterimanya
b.
Pembukuan
hadis pada kalangan tabi’in setelah Ibnu Syihab az-Zuhri
Diantara para ulama setelah az-Zuhri,
ada ulama ahli hadis yang berhasil menyusun kitab kodifikasi yang dapat
diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu, Malik bin Anas dengan kitab hasil
karyanya yang bernama al-Muwaththa’. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun
143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab kodifikasi yang pertama.[23]
Para pengkodifikasi selain Malik bin Anas
diantaranya sebagai berikut:
§ Muhammad
Ibn Ishaq di Madinah
§ Ibnu
Juraij di Makkah
§ Ibn
Abi Dzi’bin di Madinah
§ Ar-Rabi’
bin Shabih di Bashrah
§ Sufyan
ast-Tsauri di Kufah
§ Al-Auza’i
di Syam
§ Ma’mar
bin Rasyid di Yaman
§ Ibn
al-Mubarrak di Khurasan
§ Abdulloh
bin Wahab di Mesir
§ Jarir
ibn Abd al-Hamid di Rei
c.
Masa seleksi, penyempurnaan dan
pengembangan sistem penyusunan ikitab kitab hadis
Yang dimaksud dengan masa seleksi atau
penyaringan disini ialah masa upaya para pengkodifikasi hadis yang melakukan
seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang
telah berhasil melahirkan suatu kitab kodifikasi. Masa ini dimulai sekitar
akhir abad II atau awal abad III atau ketika pemerintahan dipegang oleh Bani
Abbas, khususnya sejak masa al-Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal
IV, masa al-Muktadir [24]
Munculnya periode seleksi ini, karena
pada periode sebelumnya yakni periode kodifikasi, belum berhasil memisahkan
beberapa hadis Mauquf dan Maqthu dari hadis Marfu. Begitu
pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang Dhoif dan yang Shahih.
Bahkan masih ada hadis yang Maudlu tercampur pada hadis-hadis yang Shahih.
Pada masa ini para ulama
bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui
kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama masa ini berhasil memisahkan
hadis-hadis yang Dhoif dari yang Shahih dan hadis-hadis yang Mauquf
dan yang Maqthu dari yang Marfu, meskipun berdasarkan penelitian
para ulama berikutnya masih ditemukan tersisipkannya hadis-hadis yang Dhoif
pada kitab-kitab Shahih
Kitab-kitab
induk yang enam (al-Kutub as-Sittah)
Satu persatu kitab-kitab hasil seleksi
ketat itu muncul pada masa ulama ini. Ulama yang pertama kali berhasil menyusun
kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari, yang terkenal dengan nama “al-Buhkhari” dengan kitabnya al-Jami as-Shahih.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam al-Kutub as-Sittah, diurutkan
sebagai berikut:
§ al-Jami as-Shahih susunan
al-Bukhari
§ al-Jami as-Shahih susunan Muslim
§ as-Sunnah susunan Abu Daud
§ as-Sunnah susunan at-Turmudzi
§ as-Sunnah susunan an-Nasa’i
§ as-Sunnah susunan Ibnu Majah
Menurut
sebagian ulama, urutan di atas mnnunjukkan urutan kualitas masing- masing,
sehingga penyebutannya menjadi baku. Namun menurut sebagian lainnya tidak
selalu baku, sebab ada yang mempersoalkan apakah yang pertama itu karya Al
Bukhari atau karya Muslim. Begitu juga halnya dengan urutan urutan lainnya
kemudian untuk urutan ke 6 juga terdapat perbedaan pendapat. Ada yang
menempatkan Malik bin Annas dan ada yang menempatkan Addarimi. Mayoritas ulama
nampaknya mengikuti pendapat yang pertama.
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan
suatu kegiatan pengumpulan Al-Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang
secara resmi disponsori atau diperintahkan oleh pemerintah (khalifah).
Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya sudah di
lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.
Selanjutnya proses kodifikasi hadis, yang pada awalnya
dilatar belakangi oleh kekhawatiran Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap
berbagai persoalan di masa pemerintahannya. Kekhawatiran tersebut didasarkan
pada tiga hal, yaitu: Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama
yang mengerti atau hafal hadis di medan perang, Bercampurnya antara hadis-hadis
yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu, Meluasnya daerah kekuasaan islam.
Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk
menyelamat-kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian sejarah
pengkodifikasian hadis dibagi menjadi dua bab yaitu :
- Sejarah
hadis pada masa pra-kodifikasi, yaitu sebelum adanya perintah untuk
mengumpulkan hadis yang terdori dari beberapa periode yakni : periode pada
masa Rasululloh, masa sahabat dan masa tabi’in.
- Sejarah
hadis pada masa pasca kodifikasi, yaitu mulai diperintahkan untuk
mengumpulkan hadis-hadis yang masih berada dimana-mana belum menjadi satu
mushaf.
Kitab-kitab hadis yang
terkenal hasil kodifikasi yaitu :
§ al-Jami
as-Shahih susunan al-Bukhari
§ al-Jami
as-Shahih susunan Muslim
§ as-Sunnah
susunan Abu Daud
§ as-Sunnah
susunan at-Turmudzi
§ as-Sunnah
susunan an-Nasa’i
§ as-Sunnah
susunan Ibnu Majah
Meskipun kami menginginkan
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, tetapi kenyataannnya masih banyak
kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya
pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.
Ranuwijaya, Utang.
1998. Ilmu Hadits. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama
Muhammad, Hasbi. 1993. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: PT Bulan Bintang
Idri.
2013, Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khon,
Abdul Majid. 2012, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Soetari,
H. Endang. 1997, Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
[1]
Ranuwijaya,
Utang, Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 1998) Hlm 119
[9] H. Endang
Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46.
[11] H. Endang
Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997) Hlm 42.
[12] H. Endang
Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997) Hlm 46.
[19] Idri, Studi Hadis
(Jakarta: Kencana, 2013) Hlm 44-45.
Komentar
Posting Komentar