SKI (Peradaban Islam Di Afrika Bagian I (Dinasti Fathimiyah Di Mesir)


PERADABAN ISLAM DI AFRIKA BAGIAN I
(DINASTI FATHIMIYAH DI MESIR)
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu: H. M. Iqbal Lutfi. MM


Kelompok 9
Annisa Aulia Berliana 
Rofiqoh Nur Musthofa
Muhammad Subhan               
                PAI 3B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
Jl.Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12650, Telp/Fax: (021)7890521
2019/2020





Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpah nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul “Peradaban Islam di Afrika Bagian I (Dinasti Fathimiyah di Mesir)” .
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
      
                                                                                                           


 Jakarta, 27 November 2019













BAB I

Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu dinasti yang pada awalnya sebagian dari daerah propinsial yang berada di bawah naungan kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, sehingga membuat banyak dari ibu kota propinsial tersebut mulai menunjukan eksistensinya dan ingin melepaskan diri dari wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah serta memimpikan sebuah kerajaan atau dinasti yang mandiri.
Di antara dinasti–dinasti yang lahir dan melepaskan diri kekuasaan Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari daerah yang berbangsa Persia yaitu: Dinasti Thahiriyah di Khurasan, Shafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania, Sajiyyah di Azerbaijan, dan Buwaihiyah. Kemudian dari yang berbangsa Turki yaitu: Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afghanistan, dan Dinasti Saljuk yang kemudian dapat merebut Baghdad pada tahun 1037 M.8 Dengan banyaknya dinasti-dinasti yang mulai melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah maka kekuasaan Dinasti Abbasiyah lambat laun menjadi lemah dan berujung kepada kehancuran.
Dari paparan di atas penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi tentang Dinasti Fathimiyah ini dalam bab selanjutnya
1.      Bagaimana latar belakang berdirinya Dinasti Fathimiyah?
2.      Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah?
3.      Apa saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?
1.      Untuk memahami latar belakang berdirinya Dinasti Fatimiyah
2.      Untuk mengkaji perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyah
3.      Untuk mengetahui faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatimiyah





Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaannya yang luas. Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah yaitu Syi’ah Ismailiyah yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan penyelidikan kepada kaum Syi’ah Ismailiyah.
Dinamakan Dinasti Fatimiyah karena dinasti ini dinisbatkan nasabnya kepada puteri Rasulullah SAW Fatimah Az-Zahra, istri dari Ali bin Abi Thalib. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Ubaidillah Al-Mahdi yang merupakan cucu dari Ismail bin Ja’far Shadiq. Sedangkan Ismail sendiri merupakan Imam Syiah yang ke-Tujuh. Menurut mereka sesudah Jafar as Shidiq yakni imam yang ke enam imamah itu tidak diberikan kepada puteranya yaitu Musa al-Kazim akan tetapi berpindah pada puteranya yang lain yang bernama Ismail. Meskipun Ismail telah meninggal, mereka kaum Syiah Ismailiyah tidak mengakui Musa al-Kazhim sebagai imam dan hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan[1]
Perlu diketahui bahwa sebenarnya silsilah Dinasti Fatimiyah berasal dari Ismail bin Ja’far, ia mempunyai putera yang bernama Muhammad bin Ismail atau Maimun al-Qaddah ia ditunjuk untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah bin Maimun dan sebelum meninggal ia menunjuk Husayn bin Abdullah dan pada tahun 909 M muncul Said bin Husyan (Ubaidillah al-Mahdi) memproklamirkan diri sebagai khalifah pertama Dinasti Fatimiyah. Namun, sejak Muhammad bin Ismail sampai Husyan bin Abdullah keberadaan mereka disembunyikan karena ditakutkan akan diketahui oleh Dinasti Abbasiyah[2]
Dinasti Fatimiyah yang dipimpin oleh Ubaidillah al-Mahdi memiliki pendukung yang sangat fanatik yakni dari suku Barbar yang telah menjadi pengikut Syiah Ismailiyah. Mereka membantu melawan Dinasti Aghlabiyah yang merupakan aliran sunni dan masih berada di bawah penguasaan Abbasiyah. Seperti diketahui bahwa suku Barbar melakukan pemberontakan terhadap penguasa di Baghdad. Mereka mempunyai dendam karena masih satu keturunan dengan penguasa Umayyah yang dikalahkan oleh Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan pendakwah ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah[3].
Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Khalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan.
Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, untuk menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 M mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.
Fokus Dinasti Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah, puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib. Para khalifah Fatimiyah merujuk asal-usul mereka kepada pasangan suami isteri ini.[4]
Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali dan Fathimah lewat garis Ismail putera Ja’far al-Shadiq. Namun kalangan Sunni menolak asal-usul tersebut dan biasanya mereka menyebut Dinasti Ubaidi yang keturunan Ubaidillah, bahkan ada yang menuduh mereka keturunan Yahudi, sebagaimana tuduhan kepada Ubaidillah secara pribadi.
Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fatimiyah tidak menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk menduduki Mesir.
Keberadaan Dinasti Fatimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fatimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spiritual tertinggi. Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spiritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fatimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.[5]
Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu:
§  ‘Ubaidillah al Mahdi (909-934 M)
§  Al-Qa’im (934-946 M)
§  Al-Manshur (946-952 M)
§  Al-Mu’izz (952-975 M)
§  Al-‘Aziz (975-996 M)
§  Al-Hakim (996-1021 M)
§  Al-Zhahir (1021-1035 M)
§  Al-Musthansir (1035-1094 M)
§  Al-Musta’li (1094-1101 M)
§  Al-Amir (1101-1130 M)
§  Al-Hafizh (1130-1149 M)
§  Al-Zhafir (1149-1154 M)
§  Al-Faiz (1154-1160 M)
§  Al-‘Adhid (1160–1171 M)
Ubaidillah al-Mahdi sangat berambisi untuk bisa menaklukan Spanyol dari kekuasaan Dinasti Umayyah bahkan sampai melakukan ikatan persahabatan dengan pemimpin pemberontak di Spanyol. Namun sayang usahanya gagal karena ia meninggal dunia pada tahun 934 M. Keinginannya untuk memperluas daerah kekuasaan dan untuk menyebarkan paham pun sirna, namun meskipun demikian ia telah membawa Dinasti Fatimiyah menjadi dinasti yang mulai diperhitungkan dan menjadikan Dinasti Fatimiyah sebuah dinasti yang mampu menciptakan peradaban Islam.
Hal serupa dilakukan oleh khalifah ke dua yakni Abu al-Qasim Muhammad yang diberi gelar al-Qaim. Ia adalah putera dari Ubaidillah al-Mahdi yang menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Al-Qaim melanjutkan misi sang ayah pada tahun 934 M al-Qaim memutuskan untuk melakukan perluasan wilayah, targetnya yakni Pantai selatan Prancis. Dalam misinya kali ini al-Qaim membawa pasukan yang sangat banyak, namun usahanya tidak sia-sia dengan pasukan yang dibawanya al-Qaim berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Para pasukan al-Qaim sangatlah kejam mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan, penyiksaan, kapal-kapal dibakar dan merampas para budak. Pada tahun 945 M Dinasti Fatimiyah sudah mampu menguasai Tunisia secara keseluruhan bahkan daerah sekelilingnya dan Sisilia telah mereka kuasai.[6]
Tidak hanya di pantai selatan Prancis, pada saat yang bersamaan al-Qaim mengirimkan pasukannya untuk menyerang Mesir, akan tetapi mereka mendapatkan perlawanan dari pasukan Iksindiyah bahkan pasukan al-Qaim mengalami kekalahan sehingga mereka terusir dari Alexandria. Al-Qaim sangat sukses dalam melakukan ekspansi meskipun terkadang harus kalah dari lawannya tapi ia tidak pantang menyerah. Ia dikenal sebagai prajurit yang pemberani bahkan ketika melakukan misinya. Ia dengan gagah berani memimpin pasukannya. Dengan keberaniannya tersebut, ia menjadi khalifah Fatimiyah pertama yang mampu menguasai Laut Tengah.[7]
Pada tahun 946 M terjadi pemberontakan di Susa’ yang pada saat itu di pimpin oleh Abu Yazid. Dalam pemberontakan tersebut pemimpin dinasti Fatimiyah yakni al-Qaim meninggal. Kabar meninggalnya al-Qaim membuat Dinasti Fatimiyah berduka, mereka kehilangan sosok pemimpin yang pemberani, tidak pantang menyerah. Al-Qaim telah membawa Dinasti Fatimiyah berada dalam wilayah kekuasaan yang luas, bukti bahwa keberadaan dinasti ini lambat laun mulai menunjukan eksistensinya.
Setelah Al-Qaim meninggal, secara otomatis Abu Thahir Ismail yang diberi gelar sebagai khalifah al-Manshur, ini merupakan putera dari al-Qaim, diangkat menjadi khalifah. Ia mendapatkan julukan Al-Mansur ketika mulai memegang kekuasaan, pada umur tiga puluh tahun ia diangkat menjadi Khalifah. Al-Mansur mempunyai sifat yang sangat baik, bijak, dan cerdas.
Setelah secara resmi diangkat menjadi khalifah pada tahun 946 M. Sementara kondisi di Afrika ketika al-Manshur menjadi khalifah sangatlah kacau dan kondisi pemerintahan sangat sulit, hal ini disebabkan karena Dinasti Fatimiyah sedang mendapatkan serangan dari Abu Yazid dan para pengikutnya, sampai akhirnya al-Mansur dan pasukannya tersudutkan di sebuah sudut ibukotanya.[8]
Kemudian Al-Manshur berhasil menghancurkan kekuatan pasukan Abu Yazid, ia tidak putus asa dan berjuang keras untuk mempertahankan Dinasti Fatimiyah. Seluruh wilayah di Afrika Utara masih bisa diamankan dan masih tetap tunduk di bawah naungan Dinasti Fatimiyah. Al-Manshur membangun sebuah kota yang sangat megah di perbatasan Susa’ yang diberi nama kota al-Manshuriyah. Pada tahun 953 M khalifah al-Manshur meninggal dan ia menunjuk puteranya yang bernama al-Muiz.
Al-Muiz merupakan putera dari al-Manshur dan menjadi tokoh terkemuka yang mampu bersaing dalam penguasaan ilmu pengetahuan, strategi dan kebijakan, taktik perang, dan mampu menguasai beberapa bahasa yakni bahasa Latin, bahasa Sicilia dan bahasa Sudan. Dengan latar belakang yang demikian membuat khalifah al-Muiz mampu membawa rakyatnya merasakan kedamaianan kemakmuran serta memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah
Al-Muiz mampu memperluas wilayah kekuasaanya hingga Maroko, Sicilia, dan Mesir, Palestina, Suriah. Pada masa al-Muiz ini menjadi batu loncatan bagi Dinasti Fatimiyah di mana ibukotanya dipindah yang tadinya berada di Ifriqia sekarang dipindah ke Mesir. Al-Muiz mengutus seorang jendral yang bernama Jauhar as-Siqili untuk melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, Jauhar as-Siqili berhasil menguasai Afrika Utara sehingga al-Muiz menugaskan Jauhar untuk pergi ke Mesir agar bisa meneruskan cita-cita para pendahulunya yang selalu gagal jika menaklukan Mesir.
Demi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir Jauhar juga memberikan jaminan kebijakan pemerintahan Dinasti Fatimiyah yakni kebijakan dalam negeri, kebijakan luar negeri, keamanan dan administrasi. Hal ini dilakukan agar masyarakat Mesir tidak merasa takut dengan hadirnya penguasa baru sehingga banyak masyarakat yang menerima Dinasti Fatimiyah dan berharap Dinasti Fatimiyah mampu mengatasi segala masalah yang sedang melanda Mesir saat itu.
Menurut Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan juga rumah ibadah mereka diperbaiki oleh pemerintah.[9]
Akan tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang non muslim tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Di bawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus, Bahkan di Mosul.
Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakaian jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.[10]
Di bawah kekuasaan al-Aziz kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan.
Dapat dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilakunya ini tidak luput lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama Qaramithah yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah setelah didesak oleh khalifah Al Mansur pada tahun 951 M.[11]
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni:
1.      Kemajuan Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementerian menjadi dua kelompok sebagai berikut:
§  Pertama, kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok yaitu pejabat militer dan pengawal khalifah, petugas keamanan dan pasukan tentara.
§  Kedua adalah kelompok sipil yang terdiri atas Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang memimpin pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran), Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah tangga raja, Petugas pembaca Al Qur'an, dan Sekretaris berbagai Departemen.
Selain pejabat pusat, di setiap daerah terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing.
2.      Penyebaran faham Syiah
Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syiah sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.[12]
3.      Perkembangan ilmu pengetahuan
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya didalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum digabungkann dengan Daar al Hikmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
§  Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
§  Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
§  Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
§  Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
§  Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Tanda-tanda kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal dan sebagainya.
Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat di penghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fatimiyah adalah kumpulan dari masalah yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua, Di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut:
  • Melemahnya para khalifah, khususnya sejak al­-Mustansir, ia adalah urutan khalifah yang ketujuh. Jika seluruh khalifah Fatimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapat dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedangkan tujuh berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, Beberapa khalifah penerusnya yakni al-Musta’li, Al-Amr, Al-Hafidz, Al-Zhafir, al-Faiz dan Al-Adhid. Mereka diangkat menjadi khalifah ketika masih bayi dan kanak-kanak bahkan mereka menjadi boneka kekuasaan oleh sanak saudaranya demi mendapatkan keuntungan kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah dan mereka tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana para pendahulu mereka.[13]
Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik (penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan pihak lawan) di sekitar istana sendiri yang bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan “kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak Al-Musta’li, merasa kecewa berat karena Al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya Al-Mustanshir yang wafat.[14]
Ia merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu daripada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi gerakan oposisi (penentang) terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin oleh Al-Hasan bin al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang khalifah, Al-Musta’li dan Al-Amir.
  • Perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur kekuatan seperti sebagai berikut:
1)      Unsur bangsa Barbar yang sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fatimiyah.
2)      Unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-Aziz.
3)      Unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir.
Tiga kelompok ini selalu bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka. Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar. Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini menyebabkan kontrol militer terhadap wilayah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasai oleh dinasti yang lain.[15]
  • Bencana alam. Ketika al-Adhid menjadi khalifah ia banyak mengalami masa-masa sulit selain kelaparan dan wabah penyakit yang melanda Mesir, kedatangan pasukan Perang Salib menjadi semakin kacau sehingga al-Adhid terpaksa meminta bantuan ke Nurudin Zanki. Lalu Nurudin Zanki menuruti permintaan al-Adhid dan mengutus Salahudin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menahan pasukan Salib. Karena keberhasilannya menghalau tentara Salib ia pun diangkat menjadi menteri di Mesir dan masih dibawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
Salahudin al-Ayubi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir agar ia dapat menjadi khalifah. Pada tahun 1171 M Salahuddin al-Ayubi mampu mengambil alih kekuasaan dari khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah sehingga  kekuasaan kini berada di tangan Salahuddin al-Ayubi. Kekuasaan Dinasti Fatimiyah Selama kurun waktu dua abad berakhir dengan sangat tragis.
Setelah Salahuddin al-Ayubi menduduki Mesir sistem paham Syiah Ismailiyah dihapuskan dan kembali menggunakan paham Sunni. Sementara para penduduk Mesir menyambut baik Salahuddin al-Ayubi, namun tidak semua peninggalan Dinasti Fatimiyah dihancurkan. Universitas al-Azhar yang dulunya menjadi pusat penyebaran Syiah Ismailiyah dirubah menjadi pusat pendidikan Sunni
Selama dua abad Dinasti Fatimiyah telah memberikan banyak kontribusi bagi peradaban Islam. Keberhasilan tersebut dapat diraih berkat kerja keras para khalifahnya yang berusaha mempertahankan Dinasti Fatimiyah dari berbagai rintangan.









Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota  yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai sejak pindahnya pemerintahan dari Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M-975) M. dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan, politik dengan system teokrasi dan monarki akan tetapi demokrasi di bawah level khalifah, militer dengan pasukan bayaran, kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir dan musnah pada masa al-Adid, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, dan ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat Mesir yang ditandai dengan kembalinya masyarakat Mesir ke ajaran sunnah bersamaan ketika Shalahuddin al-Ayyubi bersama pasukannya mengendalikan Mesir setelah mengalahkan pasukan salib.

Meskipun kami  menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, tetapi kenyataannnya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.



Ibrahim, Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah         
Karim, Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam II,  Jakarta: Raja Grafindo Persada






[1] Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) Hlm 111
[2] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994) Hlm 102
[3] Ibrahim, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) Hlm 104
[4] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003) Hlm 112
[5] Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) Hlm 114
[6] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003) Hlm 115
[7] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994) Hlm 125
[8] Ibrahim, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) Hlm 118
[9] Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka BookPublisher, 2007) Hlm 119
[10] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003) Hlm 121
[11] Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) Hlm 123
[12] Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003) Hlm 125
[13] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994) Hlm 131
[14] Ibrahim, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) Hlm 119
[15] Karim, Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) Hlm 130


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAUHID ILMU KALAM (ALIRAN ASY’ARIYAH)

FIQIH MUNAKAHAT (Rujuk Dan Tajdidunnikah)

TAFSIR (Metode Tafsir Bi Al-Matsur dan Bi Al-Ra’yi)